Hari masih gelap ketika dua teman
saya membangunkan dan menyeret saya meninggalkan pondok yang sudah beberapa
hari ini menjadi rumah kami. Udara pantai yang dingin menusuk melalui celah-celah
jaket yang dengan susah payah saya rapatkan sementara mata saya mencoba
menyesuaikan dengan sorot cahaya samar-samar yang menunggu di ujung dermaga.
“Su bangun kalian?” tanya suara itu ramah.
“Iya bapak, dingin sekali e disini kalo pagi” jawab saya sambil
menguap.
“Hahaha, sebentar ya kita tunggu
tamu dulu baru kita berangkat” sekali lagi suara itu berseru.
Tak berapa lama kemudian sebuah speedboat merapat dan
menurunkan dua wisatawan domestik. Setelah acara penyambutan yang dilakukan
dengan singkat dan berbisik-bisik rombongan kecil kamipun berjalan beriringan
meninggalkan dermaga menuju sebuah bukit kecil yang berada tepat di belakang
pemukiman.
Perjalanan menuju ‘tempat yang
dijanjikan’ itu tak kurang memakan waktu 45 menit dengan medan yang lumayan
mendaki, untungnya pagi itu meski berawan namun tidak turun hujan. Cuaca yang
menurut pak Yasaya Mayor, lelaki yang menunggu kami di ujung dermaga tadi,
ideal untuk melakukan pengamatan. Perjalanan kami berakhir disebuah bangunan
dari kayu yang disusun menjadi pondok intai, lengkap dengan tempat duduk, dan
atap yang bagian atasnya sengaja dibuat berlubang. Baru saja kami ingin
mendaratkan pantat di tempat duduknya, Pak Yasaya melambaikan tangan
mengisyaratkan kami untuk mengikutinya. “Sudah yang disana biar turis saja,
kalian ikut saya ke tempat lain. Cepat sedikit jalannya dan jangan berisik
ya, nanti mereka kabur”, ujarnya sambil bergegas. Kami yang masih
terkaget-kaget hanya bisa segera putar halauan dan tergesa-gesa menyusulnya.
Gerakannya yang gesit dan langkahnya yang mantap menyadarkan saya betapa bapak
tersebut mengenal tiap sudut hutan ini bagaikan halaman rumahnya sendiri.
Berbeda dengan saya yang tergagap mengikuti langkahnya, tidak tersangkut duri
cendana muda atau terpeleset ranting basah saja sudah syukur.
Tak berapa lama, Pak Yasaya
berhenti dan menyuruh kami duduk sambil mengisyaratkan kami agar tak banyak
bicara. Sementara matanya mencari-cari di cabang-cabang pohon. Ketika akhirnya
senyum diwajahnya mengembang, tangannya menunjuk ke arah sebuah cabang pohon. Mata
kami memicing mengikuti arah telunjuknya, seketika kami dibuat takjub.
Disanalah dia, bertengger dengan
gagahnya sambil melenggokkan bulunya yang berkilat ditimpa sinar matahari pagi.
Cenderawasih, salah satu burung kebanggaan Nusantara. Tak sia-sia tampaknya
perjalanan kami pagi-pagi buta tadi. Melihat Cenderawasih di habitat aslinya
masih merupakan salah satu hal yang istimewa dalam hidup saya.
Perjumpaan kami dengan salah satu
spesies endemik Papua ini tak bisa dilepaskan dari jasa Pak Yasaya Mayor.
Beliau adalah pemilik sekaligus pengelola Resort Mambefor. Perkenalan saya
dengan beliau bisa dibilang kebetulan. Penelitian
yang saya lakukan mengharuskan saya mengambil data di lokasi yang memiliki
tingkat interaksi masyarakat dengan hutan cukup tinggi. Dinas Kehutanan Raja
Ampat kemudian menyarankan saya untuk menuju Kampung Sawinggrai, dan mencari seseorang
bernama Yasaya Mayor.
Tak terlalu sulit nampaknya
menemukan bapak tiga anak tersebut di kampung ini, selain memang jumlah
penduduknya yang sedikit, sosok Pak Yasaya memang dikenal oleh banyak orang.
Terlebih jika melibatkan topik hutan dan wisata. Beliau termasuk salah satu
orang yang turut merintis jalannya wisata pengamatan cenderawasih di kampung
ini. Jenis atraksi wisata yang masih jarang ditemui di kawasan wisata yang hampir
seluruhnya bergantung pada keindahan pemandangan bawah air.
Keputusan Pak Yasaya untuk
mengembangkan wisata pengamatan Cenderawasih di Kampung Sawinggrai memang bukan
tanpa alasan, beliau melihat ada potensi lain yang bisa digali dari kampungnya
tersebut selain wisata bawah air. Tak tanggung-tanggung beliau bahkan membabat
sendiri jalan setapak yang digunakan untuk pengamatan cenderawasih, membangun pondok
pengintaian serta membuat kebun aggrek untuk menambah atraksi wisata. Alhasil
selain berhasil mengembangkan jenis wisata baru yang potensial, beliau juga
turut berjasa meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan
burung cenderawasih. Masyarakat yang selama ini acuh tak acuh dengan keberadaan
hutan mulai mengerti perlunya menjaga ekosistem.
Masyarakat pesisir terutama yang
berada di daerah kepulauan sering kali memiliki interaksi yang rendah dengan
hutan. Hal ini dikarenakan kebutuhan mereka sedikit banyak dicukupi dari laut
dan luar pulau. Paradigma ini akhirnya menempatkan hutan sebagai penghasil kayu
semata, yang berujung pada maraknya penebangan liar. Padahal ekosistem pulau kecil
yang ringkih dan kompleks membutuhkan hutan untuk membantu menyediakan air
tanah. Semakin sedikit hutan yang tersisa, kualitas dan kuantitas air tanah
juga akan semakin buruk. Dampak ini belum termasuk hilangnya spesies-spesies
yang hidup didalamnya serta terganggunya siklus hara. Itulah mengapa pendidikan
untuk masyarakat pesisir mengenai konservasi hutan juga perlu dilakukan
disamping konservasi laut, bukankah hutan dan laut itu sejatinya berhubungan?
Resort Mambefor yang didirikan
sejak tahun 2005 silam juga merupakan satu dari sedikit resort yang dikelola
dan dimiliki oleh masyarakat setempat. Mayoritas resort yang beroperasi di
kawasan ini, terutama yang menyediakan layanan ekslusif seperti telepon satelit
dan pesawat capung, dimiliki dan dikelola oleh pihak asing. Sehingga mayoritas
turis yang berkunjung cenderung memilih resort asing tersebut dibandingkan
resort milik masyarakat setempat. Hal inilah yang disayangkan karena meskipun
merupakan destinasi tujuan wisata dunia, ternyata keterlibatan masyarakat masih
sangat minim. Tergerak untuk merubah kondisi tersebut Pak Yasaya mengembangkan
wisata cenderawasih di kampungnya hingga menjadi seperti sekarang ini. Meskipun
tidak dilengkapi fasilitas ekslusif, bahkan sinyal seluler tidak tersedia
disini, namun resort Mambefor mampu menarik wisatawan dengan jenis atraksinya
yang unik dan berbeda. Saat ini bahkan banyak wisatawan dari resort lain yang
sengaja datang ke Sawinggrai hanya untuk melihat burung cenderawasih dan menggandeng
Pak Yasaya sebagai guide. Motivasi yang kuat dan inovasi, itulah kunci
kesuksesan beliau.
Saya dibuat terpana dengan cerita
beliau ketika mengawali sepak terjangnya di bidang wisata. Beliau mengakui
menjadi pelaku usaha pariwisata tidak pernah menjadi mimpinya, sebelum
membangun resort beliau bekerja serabutan dari menjadi nelayan hingga terlibat
pembalakan liar. Baginya saat itu mengumpulkan uang sama mudahnya dengan mengumpulkan
kerang di pesisir.
“Daerah kami kaya, tinggal tangkap, tinggal potong
su jadi uang” katanya sambil
terkekeh.
“Lalu kenapa bapak berhenti?”
tanyaku.
“Karena
uang yang didapat dari kerja tak halal cepat sekali habisnya, ludes tak
bersisa” kenangnya
“Semakin
tua saya juga menyadari kekayaan alam kami ini terbatas, kalo semua saya ambil
nanti anak saya makan apa” lanjutnya lirih. Jawaban yang membuat saya tertohok.
Awalnya tentu tidak mudah, tak jarang beliau
harus berhadapan dengan mantan rekan seprofesinya ketika menyerukan anti
pembalakan hutan.
“Orang
disini keras, pernah sa mo baku
hantam sama orang kampung. Kalo kata-kata
su tara didengar sa pukul saja orang itu punya muka” tandasnya sambil menirukan
gerakan orang memukul.
Saya yang duduk tepat didepannya hampir
terjungkal karena terkejut. Yang dilakukan beliau tentu saja beralasan, beliau
menyadari dengan baik hubungan antara kelestarian hutan dan keberadaan burung
cenderawasih. Jika ekosistem hutan mengalami kerusakan bukan tidak mungkin
burung cenderawasih akan turut hilang dari hutan. Padahal burung cenderawasih
adalah ikon Papua yang bisa mendatangkan banyak wisatawan. Dan banyak wisatawan
berarti kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, tanpa perlu merusak alam. Meskipun
selain itu menurut beliau, banyak yang belum kita ketahui dari hutan.
Dulu ketika transportasi belum
bergantung pada minyak,ketika pasar berjarak sehari perjalanan dan pusat
kesehatan tidak tersedia di tiap kecamatan hutan menjadi satu-satunya tempat,
selain Tuhan, untuk mencari kehidupan. Pohon sagu yang tumbuh liar tidak
meminta bayaran ketika dipanen, babi hutan bebas dijerat siapa saja. Akar dan
daun tumbuhan liar diracik menjadi jamu. Bunga-bunga dikumpulkan sebagai salah
satu syarat kesembuhan. Manusia saat itu hidup berdampingan dan saling
membutuhkan dengan hutan. Sampai kemudian kita dikenalkan dengan uang, bahan
bakar minyak, dan beras. Sagu tak lagi ditokok
karena ternyata beras lebih mudah ditanak, walopun ternyata juga lebih
mahal. Obat tak lagi dicari dari dalam hutan karena sekarang semua tersedia
dalam bentuk kapsul, meskipun juga masih harus bayar. Dan kayu hanya diukur
dari seberapa mahal dia ditukar dengar uang. Hutan mulai ditinggalkan begitu
pula kepedulian kita untuk melindunginya.
“Sa ini orang hutan nona, meski hidup kitorang dikelilingi laut tara boleh lupa sama nenek moyang. Nenek
moyang sa punya ya hutan ini.
Sekarang banyak orang cuma bicara uang, mereka lupa kalo uang tara bisa dimakan” lanjutnya.
“Iya
pak, mungkin mereka memang selama ini makan uang” jawab saya lirih, beruntung
debur ombak menyarukan suara saya.
Yah, bahkan surga pun butuh penjaga agar tak hanya
abadi indahnya di foto dan cerita. Dan lelaki yang berjaga di sepotong surga
yang jatuh ke bumi itu bernama Yasaya,
Yasaya Mayor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar