Kamis, 17 Januari 2013

Sa pu hutan mari kitorang jaga sama-sama.



Hari masih gelap ketika dua teman saya membangunkan dan menyeret saya meninggalkan pondok yang sudah beberapa hari ini menjadi rumah kami. Udara pantai yang dingin menusuk melalui celah-celah jaket yang dengan susah payah saya rapatkan sementara mata saya mencoba menyesuaikan dengan sorot cahaya samar-samar yang menunggu di ujung dermaga.
Su bangun kalian?” tanya suara itu ramah.
“Iya bapak, dingin sekali e disini kalo pagi” jawab saya sambil menguap.
“Hahaha, sebentar ya kita tunggu tamu dulu baru kita berangkat” sekali lagi suara itu berseru.
Tak berapa lama kemudian sebuah speedboat merapat dan menurunkan dua wisatawan domestik. Setelah acara penyambutan yang dilakukan dengan singkat dan berbisik-bisik rombongan kecil kamipun berjalan beriringan meninggalkan dermaga menuju sebuah bukit kecil yang berada tepat di belakang pemukiman.
Perjalanan menuju ‘tempat yang dijanjikan’ itu tak kurang memakan waktu 45 menit dengan medan yang lumayan mendaki, untungnya pagi itu meski berawan namun tidak turun hujan. Cuaca yang menurut pak Yasaya Mayor, lelaki yang menunggu kami di ujung dermaga tadi, ideal untuk melakukan pengamatan. Perjalanan kami berakhir disebuah bangunan dari kayu yang disusun menjadi pondok intai, lengkap dengan tempat duduk, dan atap yang bagian atasnya sengaja dibuat berlubang. Baru saja kami ingin mendaratkan pantat di tempat duduknya, Pak Yasaya melambaikan tangan mengisyaratkan kami untuk mengikutinya. “Sudah yang disana biar turis saja, kalian ikut saya ke tempat lain. Cepat sedikit jalannya dan jangan berisik ya, nanti mereka kabur”, ujarnya sambil bergegas. Kami yang masih terkaget-kaget hanya bisa segera putar halauan dan tergesa-gesa menyusulnya. Gerakannya yang gesit dan langkahnya yang mantap menyadarkan saya betapa bapak tersebut mengenal tiap sudut hutan ini bagaikan halaman rumahnya sendiri. Berbeda dengan saya yang tergagap mengikuti langkahnya, tidak tersangkut duri cendana muda atau terpeleset ranting basah saja sudah syukur.
Tak berapa lama, Pak Yasaya berhenti dan menyuruh kami duduk sambil mengisyaratkan kami agar tak banyak bicara. Sementara matanya mencari-cari di cabang-cabang pohon. Ketika akhirnya senyum diwajahnya mengembang, tangannya menunjuk ke arah sebuah cabang pohon. Mata kami memicing mengikuti arah telunjuknya, seketika kami dibuat takjub. Disanalah  dia, bertengger dengan gagahnya sambil melenggokkan bulunya yang berkilat ditimpa sinar matahari pagi. Cenderawasih, salah satu burung kebanggaan Nusantara. Tak sia-sia tampaknya perjalanan kami pagi-pagi buta tadi. Melihat Cenderawasih di habitat aslinya masih merupakan salah satu hal yang istimewa dalam hidup saya.

Perjumpaan kami dengan salah satu spesies endemik Papua ini tak bisa dilepaskan dari jasa Pak Yasaya Mayor. Beliau adalah pemilik sekaligus pengelola Resort Mambefor. Perkenalan saya dengan beliau bisa dibilang kebetulan.  Penelitian yang saya lakukan mengharuskan saya mengambil data di lokasi yang memiliki tingkat interaksi masyarakat dengan hutan cukup tinggi. Dinas Kehutanan Raja Ampat kemudian menyarankan saya untuk menuju Kampung Sawinggrai, dan mencari seseorang bernama Yasaya Mayor.  
Tak terlalu sulit nampaknya menemukan bapak tiga anak tersebut di kampung ini, selain memang jumlah penduduknya yang sedikit, sosok Pak Yasaya memang dikenal oleh banyak orang. Terlebih jika melibatkan topik hutan dan wisata. Beliau termasuk salah satu orang yang turut merintis jalannya wisata pengamatan cenderawasih di kampung ini. Jenis atraksi wisata yang masih jarang ditemui di kawasan wisata yang hampir seluruhnya bergantung pada keindahan pemandangan bawah air.
Keputusan Pak Yasaya untuk mengembangkan wisata pengamatan Cenderawasih di Kampung Sawinggrai memang bukan tanpa alasan, beliau melihat ada potensi lain yang bisa digali dari kampungnya tersebut selain wisata bawah air. Tak tanggung-tanggung beliau bahkan membabat sendiri jalan setapak yang digunakan untuk pengamatan cenderawasih, membangun pondok pengintaian serta membuat kebun aggrek untuk menambah atraksi wisata. Alhasil selain berhasil mengembangkan jenis wisata baru yang potensial, beliau juga turut berjasa meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan burung cenderawasih. Masyarakat yang selama ini acuh tak acuh dengan keberadaan hutan mulai mengerti perlunya menjaga ekosistem.
Masyarakat pesisir terutama yang berada di daerah kepulauan sering kali memiliki interaksi yang rendah dengan hutan. Hal ini dikarenakan kebutuhan mereka sedikit banyak dicukupi dari laut dan luar pulau. Paradigma ini akhirnya menempatkan hutan sebagai penghasil kayu semata, yang berujung pada maraknya penebangan liar. Padahal ekosistem pulau kecil yang ringkih dan kompleks membutuhkan hutan untuk membantu menyediakan air tanah. Semakin sedikit hutan yang tersisa, kualitas dan kuantitas air tanah juga akan semakin buruk. Dampak ini belum termasuk hilangnya spesies-spesies yang hidup didalamnya serta terganggunya siklus hara. Itulah mengapa pendidikan untuk masyarakat pesisir mengenai konservasi hutan juga perlu dilakukan disamping konservasi laut, bukankah hutan dan laut itu sejatinya berhubungan?
Resort Mambefor yang didirikan sejak tahun 2005 silam juga merupakan satu dari sedikit resort yang dikelola dan dimiliki oleh masyarakat setempat. Mayoritas resort yang beroperasi di kawasan ini, terutama yang menyediakan layanan ekslusif seperti telepon satelit dan pesawat capung, dimiliki dan dikelola oleh pihak asing. Sehingga mayoritas turis yang berkunjung cenderung memilih resort asing tersebut dibandingkan resort milik masyarakat setempat. Hal inilah yang disayangkan karena meskipun merupakan destinasi tujuan wisata dunia, ternyata keterlibatan masyarakat masih sangat minim. Tergerak untuk merubah kondisi tersebut Pak Yasaya mengembangkan wisata cenderawasih di kampungnya hingga menjadi seperti sekarang ini. Meskipun tidak dilengkapi fasilitas ekslusif, bahkan sinyal seluler tidak tersedia disini, namun resort Mambefor mampu menarik wisatawan dengan jenis atraksinya yang unik dan berbeda. Saat ini bahkan banyak wisatawan dari resort lain yang sengaja datang ke Sawinggrai hanya untuk melihat burung cenderawasih dan menggandeng Pak Yasaya sebagai guide. Motivasi yang kuat dan inovasi, itulah kunci kesuksesan beliau.
 
Saya dibuat terpana dengan cerita beliau ketika mengawali sepak terjangnya di bidang wisata. Beliau mengakui menjadi pelaku usaha pariwisata tidak pernah menjadi mimpinya, sebelum membangun resort beliau bekerja serabutan dari menjadi nelayan hingga terlibat pembalakan liar. Baginya saat itu mengumpulkan uang sama mudahnya dengan mengumpulkan kerang di pesisir.
 “Daerah kami kaya, tinggal tangkap, tinggal potong su jadi uang” katanya sambil terkekeh.
“Lalu kenapa bapak berhenti?” tanyaku.
“Karena uang yang didapat dari kerja tak halal cepat sekali habisnya, ludes tak bersisa” kenangnya
“Semakin tua saya juga menyadari kekayaan alam kami ini terbatas, kalo semua saya ambil nanti anak saya makan apa” lanjutnya lirih. Jawaban yang membuat saya tertohok.
                 Awalnya tentu tidak mudah, tak jarang beliau harus berhadapan dengan mantan rekan seprofesinya ketika menyerukan anti pembalakan hutan.                    
“Orang disini keras, pernah sa mo baku hantam sama orang kampung. Kalo kata-kata
su tara didengar sa pukul saja orang itu punya muka” tandasnya sambil menirukan gerakan orang memukul.
Saya yang duduk tepat didepannya hampir terjungkal karena terkejut. Yang dilakukan beliau tentu saja beralasan, beliau menyadari dengan baik hubungan antara kelestarian hutan dan keberadaan burung cenderawasih. Jika ekosistem hutan mengalami kerusakan bukan tidak mungkin burung cenderawasih akan turut hilang dari hutan. Padahal burung cenderawasih adalah ikon Papua yang bisa mendatangkan banyak wisatawan. Dan banyak wisatawan berarti kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, tanpa perlu merusak alam. Meskipun selain itu menurut beliau, banyak yang belum kita ketahui dari hutan.
Dulu ketika transportasi belum bergantung pada minyak,ketika pasar berjarak sehari perjalanan dan pusat kesehatan tidak tersedia di tiap kecamatan hutan menjadi satu-satunya tempat, selain Tuhan, untuk mencari kehidupan. Pohon sagu yang tumbuh liar tidak meminta bayaran ketika dipanen, babi hutan bebas dijerat siapa saja. Akar dan daun tumbuhan liar diracik menjadi jamu. Bunga-bunga dikumpulkan sebagai salah satu syarat kesembuhan. Manusia saat itu hidup berdampingan dan saling membutuhkan dengan hutan. Sampai kemudian kita dikenalkan dengan uang, bahan bakar minyak, dan beras. Sagu tak lagi ditokok karena ternyata beras lebih mudah ditanak, walopun ternyata juga lebih mahal. Obat tak lagi dicari dari dalam hutan karena sekarang semua tersedia dalam bentuk kapsul, meskipun juga masih harus bayar. Dan kayu hanya diukur dari seberapa mahal dia ditukar dengar uang. Hutan mulai ditinggalkan begitu pula kepedulian kita untuk melindunginya.
Sa ini orang hutan nona, meski hidup kitorang dikelilingi laut tara boleh lupa sama nenek moyang. Nenek moyang sa punya ya hutan ini. Sekarang banyak orang cuma bicara uang, mereka lupa kalo uang tara bisa dimakan” lanjutnya.
“Iya pak, mungkin mereka memang selama ini makan uang” jawab saya lirih, beruntung debur ombak menyarukan suara saya.
Yah, bahkan surga pun butuh penjaga agar tak hanya abadi indahnya di foto dan cerita. Dan lelaki yang berjaga di sepotong surga yang jatuh ke bumi itu bernama  Yasaya, Yasaya Mayor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar