Minggu, 06 April 2014

Mengintip Bukit Batu, Cagar Biosfer Yang Terkepung



“Kak jalannya cepatlah sikit, sudah petang nanti kita kemalaman di hutan” teriak Bang Ismail, salah satu penduduk yang menjadi pemandu jalanku. Hari ini sudah hampir tiga hari aku terseok-seok menerobos Hutan Bukit Batu yang rimbun. Tergesa-gesa aku menyusul Bang Ismail, hari mulai gelap dan hujan yang turun sejak beberapa jam yang lalu membuat akar pohon yang kuinjak menjadi lebih licin. Aku sebenarnya sudah lelah, ingin rasanya berhenti sebentar sekedar meluruskan kaki tapi bahkan untuk sekedar berdiripun kami sudah kehabisan waktu.
Bukit Batu tak seperti kebanyakan hutan yang pernah aku kunjungi di Jawa, hutan ini termasuk  jenis hutan gambut. Kelembabap di hutan ini sangat tinggi, bahkan di beberapa tempat tampak genangan air yang cukup dalam. Airnya di sini tak jernih ataupun coklat, tetapi cenderung berwarna merah dan gelap. Lantai hutannya penuh seresah dan akar pohon yang centang perentang, tak nampak tanah sedikitpun, menurut seorang ahli ilmu tanah ketebalan gambut di daerah ini dapat mencapai lebih dari 20 meter.
Tumbuhan yang ada sangat beragam, dari mulai pohon-pohon beraneka jenis berukuran ekstra besar, salak hutan dengan durinya yang tajam hingga beragam kantung semar lengkap dengan berbagai jenis satwa yang hidup di dalamnya. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem Hutan Bukit Batu memang telah diakui oleh banyak pihak. Kawasan yang terletak di Provinsi Riau ini tidak hanya ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa melainkan juga merupakan satu dari tujuh daerah cagar biosfer yang ada di Indonesia. Hebat bukan?
Salah satu jenis kantung semar yang "berserak" di lantai hutan
Nafasku masih tersengal-sengal ketika akhirnya tutupan pohon mulai jarang dan sebuah anak sungai menampakkan wujudnya. Sungai  selebar sepuluh meter itu merupakan titik awal perjalanan kami, yang sekaligus merupakan titik penjemputan. Aku menghela nafas lega, tak kupedulikan hujan yang masih turun rintik-rintik. Segera kuselonjorkan kakiku sambil membuka sepatu boot yang sejak tadi pagi melekat di kakiku. Tampak beberapa pacet berjingat-jingat merambat di kaos kaki dan celana ku. Untung tak ada satupun yang sempat masuk ke dalam celana, hewan tak bertulang belakang itu suka iseng masuk melalui celah celana mencari daging terbuka yang dapat dihisap darahnya. Tak mematikan memang tapi siapa tak geli jika menemukan pacet gemuk menempel di paha ketika membuka celana nanti.
“Kak sinilah berteduh jangan duduk-duduk dekat sungai, disambar buaya kau nanti” Bang Ismail memanggilku dengan logat Melayu yang kental. Dia dan Bang Udin, pemanduku yang lain, tampak menggigil duduk berdempetan di bawah pohon beratapkan sebuah jas hujan. Nyaliku ciut juga mendengar kata buaya, apalagi di sini kasus orang di serang buaya masih sering terjadi. Maklumlah sungai seperti ini memang habitat alami untuk Datuk Air, julukan masyarakat setempat untuk buaya air tawar.
“Kapal belum datang kita duduk-duduk tunggu di sini dulu, untung kita sudah keluar dari hutan. Bahaya nian di hutan malam-malam, kakak sih jalannya lamban macam nenek-nenek. Besok cepat sikitlah biar tak kesorean kita.” Ujarnya. Aku hanya bisa tersenyum masam, bagaimana mau jalan cepat kalau tiap langkah harus dipilih dengan cermat, batang mana yang harus dipijak, belum lagi ditambah sepatu bootku yang sering lepas ketika terperosok ke dalam lubang. 
“Ya gimana lagi bang, target kita sepuluh plot per hari. Hari ini kita hanya dapat tujuh plot itupun pulangnya abang masih harus sambil seret saya supaya cepat. Ini juga sudah diusahakan.“ Jawabku membela diri.
“Gila, hampir lima kilo kita jalan hari ini. Bukan jalan landai, masih harus buka jalan pakai parang. Cari apo kalian ini?” kata Bang Ismail bersungut-sungut.
“Cari Harimau.” Jawabku sekenanya
“Hush! Jangan panggil sembarangan begitu! datang nanti dia.” Bang Ismail berbisik. Kepalanya refleks menengok ke kanan dan ke kiri, matanya tajam menatap semak-semak di batas hutan seakan khawatir ucapanku terdengar hingga di ujung. Suasana mendadak mencekam.
Keheningan pecah ketika terdengan deru perahu di kejauhan. Jemputan kami akhirnya datang juga, perahu inilah yang akan membawa kami menuju Desa Tamiang, desa terdekat dengan kawasan Hutan Bukit Batu. Buru-buru kami naik ke atas perahu, berhimpitan sambil mencari posisi paling nyaman untuk satu setengah jam ke depan. Tak kami hiraukan hujan yang turun semakin lebat. Bajuku sudah kuyup sampai ke dalam-dalamnya, jas hujan yang kupakai sudah berubah fungsi bukan lagi sebagai pelindung  hujan tapi lebih sebagai penghangat badan.
“Kakak ni tak bisa jaga mulut, janganlah panggil-panggil nama Datuk kalau sedang di dalam. Sebut saja si Aum atau si Belang. Aduh, kalau dia tiba-tiba datang matilah kita. Senapan tak ada, mau dilawan pakai apa.” Kata Bang Ismail memecah keheningan. Tampaknya dia belum puas memarahiku karena berani menyebut nama Datuk di pinggir sungai tadi.
“Maaf bang, tak tahulah awak ada peraturan macam itu. Abang kasih tahulah apa yang tak boleh diucap di dalam sana. Kalaulah saya tahu mana berani panggil-panggil namanya. Saya ni penelitian bang, bukan uji nyali.” Jawabku.
“Ya sudahlah, besok kalo di dalam hutan jangan sebut namanya panggil saja Datuk. Kalo ketemu tapak atau kotorannya janganlah ribut macam tadi. Kalo mau ambil gambar, cepat sikit tak usah pakai berdiskusi lama-lama. Kalo mau diskusi nanti saja di kampung.” Sambungnya.
Pemandangan di dalam hutan (iya tau fotonya emang burem >.< )
Duh, salah lagi kan! Sebenarnya kekesalan Bang Ismail pada ku berawal dari tadi siang ketika kami sampai di titik ke dua pengambilan plot. Saat itu aku tak sengaja mendengar suara gemuruh, tak keras memang tapi suara dengkuran yang mirip suara mesin perahu itu membuatku penasaran. Ketika aku menanyakan pada Bang Ismail, apakah posisi kami berada terlalu dekat dengan sungai, dia malah membuang muka dan mengatakan jika suara itu adalah suara pesawat terbang. Tak terima dengan jawaban itu aku dan rekan satu tim ku beradu argument sambil bercanda, sementara Bang Ismail dan Bang Udin malah sibuk memukul-mukul batang pohon dengan parang. Semenjak kejadian itu mereka berdua berjalan lebih cepat dan menjadi gusar ketika kami meminta berhenti sekedar untuk mengambil gambar. Kelak kami tahu jika suara menderu itu adalah geram harimau yang berjalan berputar mengelilingi kami, sementara Bang Udin dan Bang Ismail sengaja membuat suara gaduh untuk mengusirnya.
Pernah suatu saat aku menemukan sebuah jejak, bentuknya sangat mirip dengan jejak kucing namun berukuran jauh lebih besar. Aku tentu saja sangat senang, apalagi ketika di sekitar jejak tersebut terdapat juga jejak-jejak lain berbentuk kuku belah. Yang lebih menggembirakan jejak tersebut masih basah. Sepertinya jejak seekor harimau dewasa yang sedang mengikuti babi buruannya.
Ketika kami sedang berdiskusi mengenai kemungkinan tersebut, tiba-tiba Bang Udin menyuruh kami berjalan lebih cepat. Belum sempat kami mengambil gambar jejak itu malah tak sengaja terinjak sepatu. Kami hanya bisa bersungut-sungut melanjutkan perjalanan. Belum lagi ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari, kedua pendampingku itu akan segera menambah kecepatan menjadi dua kali lipat. Tak mereka pedulikan aku yang jatuh terguling di belakang, semakin cepat keluar semakin baik. Jangan sampai kena malam di hutan, itu yang selalu mereka wanti-wanti.
Masyarakat Desa Tamiang sudah tinggal di sekitar Hutan Bukit Batu jauh sebelum area ini ditetapkan sebagai suaka margasatwa. Bukit Batu merupakan tanah leluhur dimana mereka menggantungkan hidup. Pohon sagu dan pokok rotan yang tumbuh liar tidak meminta bayaran ketika dipanen, ikan dan udang bebas dijerat siapa saja. Pohon ditebang untuk rumah dan perahu. Akar dan daun tumbuhan liar diracik menjadi jamu. Bunga-bunga dikumpulkan sebagai salah satu syarat kesembuhan. Manusia saat itu hidup berdampingan dan saling membutuhkan dengan hutan
Masyarakat juga tak asing dengan harimau, bagi mereka harimau adalah bagian dari adat. Tak ada tradisi mereka yang mengusik harimau maupun habitatnya. Mereka menghormati harimau sebagai nenek moyang mereka. Di pihak lain harimau juga tak pernah mengganggu kehidupan masyarakat di sini. Kehidupan dua mahluk tuhan ini tak saling mengusik satu sama lain, jika ada harimau yang menampakkan diri di sekitar pemukiman masyarakat percaya jika itu adalah sebuah isyarat jika sesuatu yang buruk sedang terjadi. Entah wabah penyakit atau penyakit sosial. Masyarakat terbiasa menyebut harimau dengan sebutan Datuk Hutan, gelar datuk yang biasa digunakan untuk menyebut orang dengan starata sosial lebih tinggi itu sengaja disematkan sebagai bentuk penghormatan. Saat berada di dalam kawasan hutan tak ada yang berani menyebut nama harimau sembarangan, mereka percaya hal tersebut akan memanggil harimau untuk datang.
Menurut masyarakat saat ini Bukit Batu telah banyak berubah. Area seluas 21.500ha itu adalah hutan yang tersisa dari ratusan ribu hektar yang telah di bagi-bagi untuk berbagai macam kepentingan. Tanah nenek moyang itu tak lagi milik mereka, perusahaan kayu berdiri mengepung kawasan suaka margasatwa tersebut. Tercatat tak kurang tiga perusahaan besar beroperasi di sana. Kanal-kanal dibangun kemudian sebagai batas kawasan perusahaan dan suaka margasatwa. Hutan dibagi ke dalam kotak-kotak, hutan alam yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan diganti menjadi hutan akasia yang seragam, harimau, beruang, babi hutan dan banyak binatang lain menyelinap ke sudut-sudut hutan yang lebih gelap.
“Kakak lihat parit baru di dalam tadi? Parit itu dibangun baru-baru ini, begitu caranya perusahaan kayu sedikit demi sedikit menambah luas kawasan. Pertama mereka tanam akasia di pinggir-pinggir hutan, dapatlah kira-kira 200 meter lebarnya, mereka bikin parit sebagai batas baru. Begeser terus tiap tahun, lama-lama habislah hutan kita. Coba kalo masyarakat yang ambil kayu sudah di door kita, jangankan kayu ikan di sungai saja bisa jadi perkara.” Berapi-api Bang Udin bercerita, suaranya bergetar ketika bercerita entah kedinginan entah geram.
Cerita mengenai masyarakat yang tak puas dengan pengelolaan hutan memang tak sekali ini  ku dengar. Miris memang ketika masyarakat sekitar hutan ditempatkan sebagai agen yang harus menjaga kelestarian hutan justru menjadi pihak yang terakhir memanfaatkannya. Bukankah mereka yang seharusnya mendapat keuntungan paling besar dari hasil hutan?
Sementara itu kehidupanpun berubah. Penduduk bertambah dari luar daerah membawa adat dan kebiasaan yang sama sekali baru. Sagu tak lagi ditokok karena ternyata beras lebih mudah ditanak, walopun ternyata juga lebih mahal. Obat tak lagi dicari dari dalam hutan karena sekarang semua tersedia dalam bentuk kapsul, meskipun juga masih harus bayar. Dan kayu hanya diukur dari seberapa mahal dia ditukar dengar uang. Biaya hidup semakin tinggi, ditengah terbatasnya lapangan pekerjaan karet dan sawit muncul sebagai idola baru. Dan di mana lagi dapat ditemukan lahan-lahan baru jika tidak dengan cara membuka hutan?
“Dulu waktu saya kecil orang masih takut bertemu buaya atau harimau ketika toreh karet di hutan, sekarang orang lebih takut tak mampu beli pulsa.” Suaranya lirih
Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, pohon-pohon di tepi sungai yang semula indah berubah menjadi bayang-bayang gelap yang menakutkan. Hanya suara deru perahu yang memecah keheningan. Aku meringkuk dalam jas hujanku mencoba mengabaikan dingin, entah mana yang lebih menakutkan harimau yang berjalan mengelilingiku saat di dalam hutan atau kita yang mengepung mereka dengan berbagai macam kepentingan?
Tim Asal Makan Pasti Senang :)