Minggu, 31 Oktober 2010

Simbah Dan Sebuah Rumah

Bagi kalian dia mungkin sekedar nama yang melintas dalam layar kaca, bagian dari pemberitaan tentang dahsyatnya awan panas Merapi 2 hari lalu.
Bagi kalian dia mungkin hanya sekedar pelengkap statistik jumlah korban yang kau lihat dalam bentuk angka. Atau mungkin bagi kalian dia hanya perempuan tua dari desa yang berjalan terbungkuk-bungkuk yang lugu dan tak tahu apa-apa.
Entah seperti apa dia di mata kalian

Mbah,
Yang kuingat darimu hanyalah
pintu yang selalu kau bukakan,meski larut dan hujan
senyum ramahmu menyambut kami para pendatang
teh kental dari poci yang tak pernah lelah kau suguhkan
hangat perapian dan gelak tawa yang selalu kau tawarkan
kebaikanmu aku masih ingat, larut malam itu aku datang berdua teman basah dan kedinginan. Kau ingatkan aku akan angin malam yang sering nakal apalagi jika dia sedang berkawan dengan hujan, "Masuk angin nanti kamu cah ayu" katamu. Dasar aku memang anak bengal, perhatianmu aku acuhkan kujawab jika aku terburu-buru mengisi batre HT. Kupasang colokan, kau hanya tersenyum dan menggeleng "Anak muda masih kuat menahan dingin" katamu.

Baru saja kutancapkan steker ke lubangnya,pret!! lampu padam.
"Sekring putus" katamu. Aku hanya bisa terdiam malu, ampun!! Kusangka kau akan marah padaku karena aku yang hanya tamu berani mengobrak-abrik penerangan di rumahmu. Tak henti kuucap maaf, sekali lagi kau tersenyum, tidak bukan tersenyum kau bahkan tertawa. Bagimu kejadian itu lucu saja, bahkan ketika rumahmu mendadak gulita dan toko listrik terdekat berarti 10 km dari sana. Malam itu kau mengajariku untuk menertawakan kesedihan kemudian melewatinya dengan tenang.

Tiga minggu lalu kita masih bersua, aku menginap semalam di rumahmu, ingatkah kau.Kita masih bercanda tentang aku yang tak pandai menyalakan api dengan tungku kayu bakar, yang selalu terbatuk-batuk menghisap asapnya. Atau tentang nasihatmu untukku agar sering memasak karena itu tugas wanita. Bentuk pengabdian katamu. Aku setuju, tapi lebih memilih membisu. Lalu kau tawarkan aku masakanmu, aku masih ingat itu oseng daun pepaya. Aku bilang itu pahit kau jawab ini sehat. "Manis" katamu membujukku. Kusuap sedikit. Melihat raut wajahku kau terbahak. Dan tetap kau katakan daun pepaya itu manis, bahkan ketika aku jelas-jelas membuang wajah melepehnya. Mungkin itu yang membuat hidupmu bersahaja, tak ada yang bisa membuat lajumu pahit bahkan segepok daun pepaya hijau tua.

Mbah,apa kabar kucing kembang asem yang dulu kutemui itu. Iya yang besar dan gagah tapi ekornya tak ada itu. Apakah kau membawanya bersamamu,semoga saja, tak bisa aku bayangkan dia sendirian disana berteman debu meskipun aku yakin jika dia tak sempat kau ajak Tuhan yang akan memberinya makan.

Mbah,aku rindu padamu
Rindu benar,sudah lewat tengah malam dan aku masih rindu
Sudah jam setengah tiga dan aku masih menyesal tak bisa mengantarmu ke tempat peristirahaant terakhirmu
Maaf,tapi mereka meninggalkanku padahal aku sudah meminta untuk ditunggu.
Entahlah mungkin mereka sangat terburu-buru karena juga rindu padamu.

Jika esok kita bertemu,maukah kau membukakan pintu menyambutku dengan senyum dan teh poci seperti dulu. Kemudian kita bisa berdiang bersama sambil memberi makan kucing kembang asem. Mengacuhkan dingin dan pahit di luar sana.


sebuah malam di 29 oktober 2010
merapi menjadikan jogja lautan abu kala itu

Kamis, 14 Oktober 2010

Miss my window

Aku rindu rumah lamaku.
bangunan bertingkat dua yang hanya kuhuni 3 tahun saja dan sudah 3 tahun ini berganti kepemilikan. Rumahku dulu dua tingkat dengan lantai satu dipakai untuk toko dan lantai dua kamar tidur. Tapi bukan itu yang menarik, satu titik di ujung tanggalah yang kucari. Di sana ada sebuah jendela.

Jendela itulah yang kini sangat kurindukan.
Bentuknya biasa saja,dengan 2 buah daun jendela. Warnanya merah pudar mungkin karena dekat dengan udara bebas dan sinar matahari langsung membuatnya lebih cepat terlihat tua. Tak ada yang istimewa dengan tampilan fisiknya. Yang membuatnya istimewa adalah karena ketika kau memanjatnya dan duduk di bibir kusennya kau bisa menyelonjorkan kakimu di genteng, atap lantai satu. Tak hanya kaki jika kau sedikit berani, tak takut jatuh dan dimarahi bapakku tentu saja, seperti aku kau bahkan bisa berjemur di atas genteng. Posisinya begitu strategis hingga kau bisa menikmati pemandangan sawah yang menghampar, matahari terbenam hingga bintang gemintang.

Dulu, dikala panas terik dan bosan menghampiri aku biasa berjalan menuju jendela itu, duduk dan berkhayal. Tentang dunia diluar sana. Diluar kampungku yang kecil. Semilir angin menerbangkanku menuju hutan-hutan tropis atau pantai-pantai berpasir putih yang waktu itu hanya bisa aku lihat di kalender. Tak jarang aku membuat gelembung sabun dan meniupnya dari sana, membiarkannya terbang. Beberapa berkelana hingga tak terlihat mata  lebih banyak yang pecah bahkan ketika dia belum genap melewati batas gentengku. Seperti mimpi-mimpi kita. Sebagian cukup kuat untuk diperjuangkan tak sedikit bahkan tak berani kita ungkapkan.

Saat petang sambil menunggu azan magrib aku duduk-duduk saja disana menikmati matahari terbenam. Karena aku selalu duduk sendiri,ditemani kucingku sebenarnya tapi toh dia tak tertarik dengan matahari terbenam jadi mari kita abaikan saja, maka aku selalu dengan egois mengatakan Tuhan sengaja menciptakan senja itu untukku. Dia biarkan aku terpesona sepuas-puasnya dan mengambil sebanyak yang aku mau. Mungkin dia berfikir, nikmati sepuasmu tapi senja ini tak bisa menjadi milikmu, karena toh dia selalu berhasil mengambil senjaku kapanpun dia mau. Seperti hidup kita

Ketika malam datang,terlebih jika disertai bintang  (aku tak terlalu mengharap kedatangan bulan, terkadang dia pemalu dan bersembunyi saja dibalik awan,menyebalkan) keadaan menjadi berlipat dramatis. Aku selalu mencoba mengajak bintang-bintang itu berbicara. Menyenangkan karena mereka tak bisa bicara dan sebanyak apapun aku bercerita mereka hanya akan berkedip. Aku menyebut mereka penggemar yang baik dan tak banyak mau tahu, tipe teman curhat favoritku. Maka aku bebas mengatakan apapun tentang teman misalnya, teman yang menyebalkan, teman yang menyebalkan sekali, teman yang saking menyebalkannya hingga kau berharap tidak mengenalnya saja, teman yang baik, teman yang kau anggap saudara, teman mencontek, teman sebangku dan macam-macam teman yang lain. Terkadang jika masalah teman menjadi membosankan maka pernah juga aku mengeluh tentang masalah cinta. Cinta monyet yang malu-malu, cinta buaya yang berbahaya dan saling membuka mulut, cinta kadal yang gesit bergerak hingga cinta bungklon yang tak menentu dan macam-macam jenis cinta lainnya. Kebanyakan malam-malam dengan topik seperti itu berakhir dengan air mata.

Dan itulah mengapa sekarang aku merindukan jendelaku. Jendela semacam itu sukar didapat di tempat inggalku sekarang. Jendela yang mau menjadi pendengar, jendela yang menawarkan belaian angin yang mengeringkan air mata, jendela yang menghiburku dengan bermacam-macam senja, jendela yang melambungkanku dengan bermacam-macam mimpi.
Adakah yang punya jendela semacam itu??call me then