Minggu, 29 Juli 2012

Raja Ampat, setelah kalian pulang...



Lihatlah kapal kalian telah datang..
Siang itu aku memandang kalian yang ramai bercakap tentang perjalanan pulang, bercanda tentang kulit yang menghitam dan banyaknya barang bawaan. Terbayang di pelupuk kalian keluarga yang akan menyambut dengan bangga, anak-anak mereka yang pulang dari pulau seberang. Membayangkan hari raya Idul Fitri yang sebentar lagi datang. Kalian semua berharap kapal itu segera datang. Perjalanan ini memang menyenangkan tapi selalu kita rindu untuk pulang.
Siang itu aku berharap adalah bagian dari kalian, ya berharap…karena aku seperti yang kalian juga tahu tidak pulang hari ini. KKN kita telah usai seharusnya kita bersama-sama mengangkat koper dan pulang, tapi aku punya rencana yang sedikit berbeda. Aku memilih tinggal lebih lama, bersikeras mengambil data untuk skripsiku di tempat ini. Dan baru akan pulang setelah Lebaran.
                Perpisahan di dermaga itu berlangsung cepat, kita saling melambai melepas kepergian. Kita memulai perjalanan ini dengan cara yang sama dan mengakhirinya dengan jalan yang berbeda. Selamat jalan kawan, semoga selamat sampai tujuan.

Setelah ini hanya ada kita bertiga..
                Aku tidak tinggal sendirian, masih tersisa dua orang teman yang bersedia terdampar di tempat ini lebih lama. Meskipun tidak pernah aku ungkapkan, sebenarnya keberadaan mereka sangat penting. Mereka lebih dari sekedar tukang angkat barang, tukang ambil data, tukang masak, tukang cerita, tukang cuci baju, tukang basa-basi maupun tukang pukul. Sejauh ini mereka adalah sahabat dan teman perjalanan yang menyenangkan, tentu saja tidak termasuk beberapa kasus spesial dimana mereka terkadang bertingkah sangat menyebalkan. Kedua manusia beruntung itu adalah Radityo Donipawoko dan Muhammad Hafizt.

                Segera setelah hanya tinggal kami bertiga, kamipun menyusun rencana untuk segera menuju lokasi penelitian, yaitu Desa Sawinggrai. Desa itu terletak tidak jauh dari Ibukota Kecamatan, Yanbekwan. Dia terletak tepat di depannya, hanya saja terbatas selat sepanjang 30 menit perjalanan menggunakan kapal motor 40 PK.  Hari itu selepas kalian pergi, adalah hari dimana kami sibuk berbelanja kebutuhan pangan dan mencari tumpangan kapal menuju Sawinggrai. menjadi luar biasa sulit karena entah mengapa ketersediaan bahan bakar minyak sulit didapat di Waisai. Kapal paling cepat yang bisa kami tumpangi baru berangkat esok hari, yang artinya kami harus melewatkan malam sekali lagi di Waisai.
                Rumah itu tiba-tiba menjadi sepi, apalagi di malam hari. Dan terimakasih untuk semua cerita menyeramkan yang kalian tinggalkan. Malam itu aku tidak mau tidur sendiri.

Sawinggrai, here we come..
Perjalanan dari Waisai menuju Distrik Meos Mansuar bukan hal baru bagiku, tapi menggunakan kapal kecil bertenaga 20 PK jelas berbeda. Kapal yang kami tumpangi milik Bapak Abdul Hadi, warga Yanbekwan, yang kemudian disewa oleh Bapak Mantri. Sebenarnya kapal itu hanya akan berlabuh di Yanbekwan tapi kami meminta tolong untuk sekalian saja diantar ke Sawinggrai. Karena biasa menggunakan kapal bertenaga 40 PK perjalanan kali itu terasa sangat lama, semua seakan berjalan dalam gerak lambat. Laut biru..ombak..laut biru..ombak begitu berulang-ulang sampai mual perutku dibuatnya.
Sesampai di Saonek tiba-tiba laju kapal menjadi pelan, sebenarnya aku tak terlalu menyadari sampai Pak Abdul menyatakan jika kami kehabisan minyak. Kami ditengah laut, terombang ambing dan kehabisan minyak. Tidak terdengar menyenangkan. Pak Hadi mencoba meminjam minyak kepada kapal yang kebetulan melintas, tapi karena ketersediaan minyak di Waisai saat itu langka dan minyak merupakan benda berharga di sini, maka usaha itu sia-sia belaka. Menyadari betapa kritisnya keadaan saat itu Pak Abdul segera merapatkan kapalnya ke Saonek. Ampun, panasnya siang itu..setelah terpanggang matahari di lautan masih kami harus berputar-putar di Saonek mencari minyak. Beruntungnya ketika ada seorang pemilik kios yang mau memberikan sedikit minyak . Tragedi ini sedikit banyak menyadarkan kami jika ketergantungan terhadap minyak di sini sangat tinggi. Tanpanya mereka bahkan tak bisa beranjak kemana-mana. Suatu saat nanti ketika sering terdengar berita kelangkaan BBM maupun ancaman harga BBM yang merangkak naik, aku akan selalu ingat peristiwa siang itu. Berharap kondisi di sana tidak menjadi lebih buruk.
Kawan, akhirnya kami sampai di Sawinggrai. Disambut dengan tatapan heran dari penduduk setempat, mungkin mereka berpikir kami adalah turis. Tapi, kalo dipikir-pikir mengingat bawaan kami yang seperti orang mudik itu, mana ada turis yang merapat sambil menggotong-gotong karung beras. Ralat. Hanya dua teman saya yang tergopoh-gopoh mengangkat perbekalan sementara aku melompat ke dermaga dan beranjak menemui kepala kampung, dengan lincah. Inilah salah satu saat dimana aku sebenarnya sangat menikmati melihat mereka perkasa mengangkat semua logistik tim.
Dengan segala kebaikannya bapak kepala kampung memberikan kami izin untuk tinggal, sekaligus sebuah pondok informasi untuk hunian sementara. Pondok itu terletak tak jauh dari dermaga, berdinding kayu, berukuran kurang lebih 4x4 meter yang terdiri dari 2 kamar dan sebuah dapur. Di tempat itulah kemudian kami tinggal dan melakukan hal-hal bodoh.
Kondisi Sawinggrai berbeda dengan Sauwandarek, disini sumur air tawar berada di luar kampung yang membuat air tawar menjadi sesuatu yang berharga dan harus dihemat. Tidak ada sinyal, kecuali di sebuah tempat di sudut dermaga yang entah benar atau tidak karena sampai kami pulang kami tak pernah berhasil menemukan letak tempat tersebut, dan tidak ada listrik waktu malam di pondok kami. Kecuali jika penduduk kampung sedang menyalakan generator untuk keperluan kampung. Untuk masalah ini kami sangat berterimakasih kepada Bapak Yasaya Mayor pemilik resort Mambefor yang memberikan ijin bagi kami untuk memanfaatkan listrik di tempatnya.
Penelitian yang kami lakukan menuntut banyak interaksi dan wawancara dengan masyarakat. Pengalaman dua bulan KKN di Sauwandarek membuat kami sedikit banyak paham tentang kondisi sosial masyarakat di sana yang tentu saja sangat membantu. Tidak banyak kesulitan yang kami alami, namun hal-hal konyol itu memang selalu tidak dapat dihindari. Seperti, ketika kami harus mencari data mengenai hutan adat dan sejarah Raja Ampat. Tidak banyak orang yang tahu mengenai hal tersebut, oleh karena itu kami disarankan menemui seorang sesepuh yang tinggal di kampung sebelah. Kampung itu letaknya tidak jauh, hanya kurang lebih 40 menit jalan kaki, melewati jalan setapak yang sepi di pinggir pantai, hamparan mangrove, dan sebuah kompleks pemakaman. Tidak ada yang salah, jika saja kami tidak harus menemui beliau pukul 8 malam. Ya, pukul 8 malam.
Maka malam itu penjadi malam terpanjang dalam sejarah perjalanan kami. Berbekal senter dan jaket kami berjalan berimpit-impitan sambil bercakap-cakap mengurangi ketegangan. Sepanjang perjalanan aku tentu saja mencari tempat paling menguntungkan, yaitu berada di tengah-tengah. Sambil  berpegangan pada ujung jaket mereka. Bukan, ini bukan salah satu saat dimana kami sedang akur, ini salah satu saat dimana aku tidak mau ambil resiko mereka tiba-tiba berlari meninggalkanku saat kami melintasi kuburan. Membayangkan kuburan itu di malam hari saja sudah membuatku sangat ngeri apa lagi kalo harus melewatinya sendiri.
Wawancara malam itu berjalan menegangkan. Kami berada di bangunan kantor pemerintah yang masih dalam tahap pembangunan dengan sebuah meja besar teronggok ditengahnya dan beberapa buah kursi. Lengkap dengan beberapa kayu yang masih malang melintang dan kaleng cat berserakan di sekitarnya. Tidak ada listrik, hanya cahaya lilin yang bergoyang seirama debur ombak di luar sana. Sementara angin malam yang usil terus saja mencoba menelusup ke dalam jaket yang kukenakan. Dan lebih dari semua horror screen yang kami lalui adalah pembicaraan mengenai Raja Ampat di masa lalu, lengkap dengan cerita mengenai roh-roh halus dan para hantu penunggu pulau. Apa kataku, cerita horor yang bagus selaku ditunjang dengan setting yang tidak setengah-setengah. Kurang lebih pukul sebelas wawancara itu usai sudah. Dan ini adalah saat dimana aku bersedia menukar semua logistik yang aku miliki untuk mendapat tawaran menginap semalam, yang akhirnya tidak pernah kami dapatkan.
 Malam masih remang-remang, angin masih bertiup tertahan, dan sepanjang perjalanan aku mencoba mati-matian menahan langkah kaki untuk tidak berlari ketakutan setiap terdengar bunyi burung atau daun jatuh. Atau aku hanya akan mendapati diriku berada di depan, sendirian.


Hari Raya tanpa ketupat opor dan gema takbir
                Sebagai orang  yang berasal dari Jawa menjadi muslim adalah juga menjadi mayoritas. Bulan Ramadhan akan berarti sirine yang meraung-raung ketika azan Magrib tiba, kentongan bertalu-talu saat sahur, dan jamaah yang berbondong-bondong untuk tarawih. Kemudian Idul Fitri adalah pesta opor ayam yang diiringi orchestra suara takbir. Tapi itu di Jawa, kawan bukan disini.
                Di sini ketika kami adalah minoritas, karena hanya ada satu keluarga muslim lain di desa ini, maka malam menjelang Idul Fitri adalah malam yang sepi. Dalam arti kiasan dan sebenarnya. Setelah berbuka kami memutuskan membuang kesepian ini dengan menghabiskan malam di resort Pak Yasaya, sekedar menghindari pondok kami yang gelap. Di sana sambil menatap laut yang kelam anganku melayang. Melayang pulang. Malam itu sejenak, setelah sekian lama kutepis-tepis kubiarkan rinduku melayang jauh, terombang-ambing bersama arus lautan, melewati pulau-pulau yang berjajar, kemudian terdampar di Parang Tritis. Dari Parang Tritis biarlah rinduku naik angkot, berganti beberapa kali hingga sampai dia di ujung gang rumahku. Biarkan dia berjalan perlahan sampai dia bertemu rumah bercat coklat, menembus lubang kunci dan menikmati kehangatan dibaliknya. Malam itu aku tenggelam pada hal paling klise yang bisa dialami oleh cucu Adam paling tolol sekalipun, aku rindu keluargaku.
                Ditengah badai melankolisme yang melanda akhirnya kami bertiga memutuskan membuat ucapan selamat lebaran dengan menggunakan handycamp, yang kami tahu tidak akan bisa kami kirimkan ke siapapun tepat waktu. Sebuah rekaman permintaan maaf untuk masing-masing keluarga Havizt di Riau, keluarga Doni di Madiun, dan keluargaku di Jogja karena lebaran tahun ini kursi kami di rumah tak terisi.
                Paginya kami sengaja bangun jauh lebih awal karena kami telah meminta untuk diantar ke Waisai, agar bisa ikut shalat ied. Namun yang ditunggu tak kunjung tiba dan matahari telah tinggi. Bisa dipastikan jika berangkat sekarangpun bisa dipastikan kami tidak bisa tiba disana tepat waktu. Usut punya usut ternyata kami mengalami perbedaan pemahaman karena latar belakang budaya yang berbeda. Aku dan Doni yang notabenya adalah Jawa tulen serta Hafizt pemuda melayu rantau merasa tidak enak hati dan tidak cukup sopan untuk mengetuk pintu rumah orang lain di pagi buta, apalagi kami bahkan tidak mendengar tanda-tanda keberadaan orang didalamnya. Maka kamipun memutuskan menunggu. Sementara pace-pace tersebut, ternyata juga merasa tidak enak hati jika menghampiri kami lebih dulu. Maka kami semua terjebak dalam situasi saling tunggu, dirumah masing-masing.
 Ketika kami akhirnya bisa menertawakan kesalah pahaman ini dan berangkat ke Waisai kami sudah terlambat untuk ikut salat ied. Kami disambut pemandangan orang-orang berbaju muslim, saling mengucapkan salam dan tidak diragukan lagi, gembira ria. Namun yang lebih mengejutkan adalah ketika kami menghubungi keluarga kami masing-masing, ternyata pemerintah telah menetapkan jika hari raya Idul Fitri adalah besok pagi, meskipun tidak ada larangan bagi siapapun yang merayakan hari ini. Ya, faktanya adalah keluarga di kampung kami masing-masing bahkan masih menikmati hari terakhir puasa Ramadhan disaat kami bahkan telah terlambat untuk mengikuti salat ied.

Hello, my name is Fawes
Sore itu kami bertiga tidak sedang berada pada mood yang menyenangkan, aku lupa apa masalahnya tapi akhirnya aku memutuskan untuk menyingkir dari mereka berdua dan memberi makan ikan di area resort. Di sana, diujung dermaga kujumpai lelaki yang bersandar sambil memandang lautan. Seorang lelaki yang tidak kukenal, seorang turis asing ternyata.
Namanya Fawes, atau paling tidak itulah yang aku tangkap karena nama aslinya sangat sulit diucapkan untuk lidah lokalku, seorang turis dari Perancis. Kami bercerita tentang banyak hal, tentang penelitian yang kulakukan dan tentang alasan dia memilih resort ini. Bagiku agak aneh ketika dia memilih Sawinggrai sebagai tempat menginap, atraksi wisata di sini memang berbeda dengan di kampung wisata lain, tapi fasilitas komunikasi dan listrik sangat terbatas yang membuat jarang ada tamu yang menginap dalam waktu lama. Wisata disini adalalah kunjungan singkat mengamati burung cenderawasih di habitat aslinya, setelah itu wisatawan biasanya kembali ke resort mereka di kampung lain. Resort-resort yang dilengkapi telepon satelit, kamar mandi berpemanas, dan mini bar.
Tapi ternyata bagi Fawes resort inilah yang tepat, tidak dengan kemewahan tapi keramahan masyarakatnya. Resort ini memang tidak berjarak dengan rumah warga yang lain sehingga memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Berbeda dengan resort mewah di kawasan Meos Mansuar yang dikelola pendatang maupun asing, Mambefor dimiliki dan dikelola oleh warga setempat. Dimana keberadaan resort ini akan memberikan kontribusi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Bukankah memang ini seharusnya pembangunan wisata di Raja Ampat ditujukan, kesejahteraan masyarakat setempat?

Selain banyak berbagi cerita Fawes juga menawarkan bantuan yang sangat berarti untuk penelitian ini, dia menawarkan kameranya untuk digunakan mengambil data. Beberapa foto bahkan sengaja dia ambil sendiri untuk meringankan pekerjaanku. Sangat membantu mengingat kami hanya membawa handycam sebagai sarana dokumentasi, itupun pinjaman dari seorang kenalan dari Waisai.
Banyak yang kami lalui bersama setelah itu, diantaranya adalah ketika suatu sore dia dan Pak Yasaya mengajak kami ikut dalam salah satu perjalanan ke Wayak Mini dan melihat manta. Tentu saja dengan Fawes menanggung semua biaya perjalanannya, “Kalian kan pelajar”, begitu selalu dia berkata. Perjalanan yang menyenangkan, meskipun bagi salah satu dari kami ini juga merupakan perjalanan yang sangat melelahkan.
Begini ceritanya, selama perjalanan Pak Yasaya meminta tolong salah seorang dari kami untuk memijat punggungnya karena beliau merasa sedikit tidak enak badan. Pekerjaan mulia itu akhirnya jatuh ditangan hafizt, jadilah dia sepanjang perjalanan memijat punggung Pak Yasaya sementara kami berdua tersenyum-senyum simpul melihatnya. Sesampai kembali di Sawinggrai kami mengucapkan terimakasih dan pamit untuk menyiapkan makan malam, tak lupa mengundang Fawes untuk datang dan minum kopi bersama.
Pada saat kami menyiapkan makan malam tiba-tiba aku menyadari jika hanya ada aku dan Doni yang berada di pondok, hafizt tiba-tiba menghilang entah kemana. Kami waktu itu mengira dia hanya pergi mandi. Lama berselang dan dia bahkan belum kembali, semua makanan sudah matang tapi karena kami selalu mulai makan bersama mau tak mau kami menunggunya. Aku sudah mulai tidak sabar, Doni sudah mulai lapar. Ini sudah terlalu lama bahkan jika dia harus pergi mandi di kampung sebelah.
Tiba-tiba, muncullah laki-laki melayu itu dari balik pintu. Kusut. Dan membawa sebuah piring berisi ikan bakar. Sebelum kami sempat bertanya, merepetlah mulutnya bercerita jika ketika kami pamit pulang tadi Pak Yasaya memanggilnya kembali. Meminta dia meneruskan tugasnya yang terpotong, sebagai tukang urut. Tak main-main hampir dua jam Hafizt menunaikan tugasnya. Sambil dia bercerita aroma minyak urut yang pekat menguar dari badannya, terbayanglah bentuk penderitaan macam apa yang baru dia lalui. Saat itu sebagai teman, bentuk simpati yang bisa kami berikan adalah menertawakan kejadian itu habis-habisan, karena untung bagi kami mendapat tambahan lauk makan malam.

Kapal kami telah tiba
Aku tidak pernah bisa melupakan hari dimana kami memutuskan untuk pulang. Kami tidak bersaudara, kami bahkan tidak mengenal orang-orang ini sebelumnya, hanya tinggal tidak lebih dari sepuluh hari, merepotkan dan banyak bertanya. Namun, tapi ketika kami pulang beberapa bahkan menitikkan air mata. Mereka mau repot-repot mengantarkan kami ke dermaga, membawakan barang-barang kami, anak-anak menyanyikan lagu perpisahan, mama-mama memberi ku banyak pesan. Ada haru di tiap pelukan dan jabat tangan yang mereka berikan. Dalam hati aku berharap Sawinggrai tidak sejauh itu dari Jogja, sehingga aku bisa berkali-kali mengunjunginya. Dan terimakasihku untuk semua yang aku dapatkan di sana tak terhingga. Mungkin aku hanya merasa sangat terkesan.

Ada laut yang akan selalu kurindukan, ada cerita yang tak akan pernah kulupakan, dan ada keluarga baru yang suatu saat nanti akan kukujungi lagi.