Senin, 01 November 2010

kenangan

apa yang tersisa dari perjalanan kita yang panjang itu kawan?
tak ada selain berton-ton kenangan
tentang obrolan panjang malam itu
ketika semua berubah menjadi abu-abu

dan akupun perlahan menjadi tak peduli
seperti musim hujan yang beranjak pergi

Pasti!

Minggu, 31 Oktober 2010

Simbah Dan Sebuah Rumah

Bagi kalian dia mungkin sekedar nama yang melintas dalam layar kaca, bagian dari pemberitaan tentang dahsyatnya awan panas Merapi 2 hari lalu.
Bagi kalian dia mungkin hanya sekedar pelengkap statistik jumlah korban yang kau lihat dalam bentuk angka. Atau mungkin bagi kalian dia hanya perempuan tua dari desa yang berjalan terbungkuk-bungkuk yang lugu dan tak tahu apa-apa.
Entah seperti apa dia di mata kalian

Mbah,
Yang kuingat darimu hanyalah
pintu yang selalu kau bukakan,meski larut dan hujan
senyum ramahmu menyambut kami para pendatang
teh kental dari poci yang tak pernah lelah kau suguhkan
hangat perapian dan gelak tawa yang selalu kau tawarkan
kebaikanmu aku masih ingat, larut malam itu aku datang berdua teman basah dan kedinginan. Kau ingatkan aku akan angin malam yang sering nakal apalagi jika dia sedang berkawan dengan hujan, "Masuk angin nanti kamu cah ayu" katamu. Dasar aku memang anak bengal, perhatianmu aku acuhkan kujawab jika aku terburu-buru mengisi batre HT. Kupasang colokan, kau hanya tersenyum dan menggeleng "Anak muda masih kuat menahan dingin" katamu.

Baru saja kutancapkan steker ke lubangnya,pret!! lampu padam.
"Sekring putus" katamu. Aku hanya bisa terdiam malu, ampun!! Kusangka kau akan marah padaku karena aku yang hanya tamu berani mengobrak-abrik penerangan di rumahmu. Tak henti kuucap maaf, sekali lagi kau tersenyum, tidak bukan tersenyum kau bahkan tertawa. Bagimu kejadian itu lucu saja, bahkan ketika rumahmu mendadak gulita dan toko listrik terdekat berarti 10 km dari sana. Malam itu kau mengajariku untuk menertawakan kesedihan kemudian melewatinya dengan tenang.

Tiga minggu lalu kita masih bersua, aku menginap semalam di rumahmu, ingatkah kau.Kita masih bercanda tentang aku yang tak pandai menyalakan api dengan tungku kayu bakar, yang selalu terbatuk-batuk menghisap asapnya. Atau tentang nasihatmu untukku agar sering memasak karena itu tugas wanita. Bentuk pengabdian katamu. Aku setuju, tapi lebih memilih membisu. Lalu kau tawarkan aku masakanmu, aku masih ingat itu oseng daun pepaya. Aku bilang itu pahit kau jawab ini sehat. "Manis" katamu membujukku. Kusuap sedikit. Melihat raut wajahku kau terbahak. Dan tetap kau katakan daun pepaya itu manis, bahkan ketika aku jelas-jelas membuang wajah melepehnya. Mungkin itu yang membuat hidupmu bersahaja, tak ada yang bisa membuat lajumu pahit bahkan segepok daun pepaya hijau tua.

Mbah,apa kabar kucing kembang asem yang dulu kutemui itu. Iya yang besar dan gagah tapi ekornya tak ada itu. Apakah kau membawanya bersamamu,semoga saja, tak bisa aku bayangkan dia sendirian disana berteman debu meskipun aku yakin jika dia tak sempat kau ajak Tuhan yang akan memberinya makan.

Mbah,aku rindu padamu
Rindu benar,sudah lewat tengah malam dan aku masih rindu
Sudah jam setengah tiga dan aku masih menyesal tak bisa mengantarmu ke tempat peristirahaant terakhirmu
Maaf,tapi mereka meninggalkanku padahal aku sudah meminta untuk ditunggu.
Entahlah mungkin mereka sangat terburu-buru karena juga rindu padamu.

Jika esok kita bertemu,maukah kau membukakan pintu menyambutku dengan senyum dan teh poci seperti dulu. Kemudian kita bisa berdiang bersama sambil memberi makan kucing kembang asem. Mengacuhkan dingin dan pahit di luar sana.


sebuah malam di 29 oktober 2010
merapi menjadikan jogja lautan abu kala itu

Kamis, 14 Oktober 2010

Miss my window

Aku rindu rumah lamaku.
bangunan bertingkat dua yang hanya kuhuni 3 tahun saja dan sudah 3 tahun ini berganti kepemilikan. Rumahku dulu dua tingkat dengan lantai satu dipakai untuk toko dan lantai dua kamar tidur. Tapi bukan itu yang menarik, satu titik di ujung tanggalah yang kucari. Di sana ada sebuah jendela.

Jendela itulah yang kini sangat kurindukan.
Bentuknya biasa saja,dengan 2 buah daun jendela. Warnanya merah pudar mungkin karena dekat dengan udara bebas dan sinar matahari langsung membuatnya lebih cepat terlihat tua. Tak ada yang istimewa dengan tampilan fisiknya. Yang membuatnya istimewa adalah karena ketika kau memanjatnya dan duduk di bibir kusennya kau bisa menyelonjorkan kakimu di genteng, atap lantai satu. Tak hanya kaki jika kau sedikit berani, tak takut jatuh dan dimarahi bapakku tentu saja, seperti aku kau bahkan bisa berjemur di atas genteng. Posisinya begitu strategis hingga kau bisa menikmati pemandangan sawah yang menghampar, matahari terbenam hingga bintang gemintang.

Dulu, dikala panas terik dan bosan menghampiri aku biasa berjalan menuju jendela itu, duduk dan berkhayal. Tentang dunia diluar sana. Diluar kampungku yang kecil. Semilir angin menerbangkanku menuju hutan-hutan tropis atau pantai-pantai berpasir putih yang waktu itu hanya bisa aku lihat di kalender. Tak jarang aku membuat gelembung sabun dan meniupnya dari sana, membiarkannya terbang. Beberapa berkelana hingga tak terlihat mata  lebih banyak yang pecah bahkan ketika dia belum genap melewati batas gentengku. Seperti mimpi-mimpi kita. Sebagian cukup kuat untuk diperjuangkan tak sedikit bahkan tak berani kita ungkapkan.

Saat petang sambil menunggu azan magrib aku duduk-duduk saja disana menikmati matahari terbenam. Karena aku selalu duduk sendiri,ditemani kucingku sebenarnya tapi toh dia tak tertarik dengan matahari terbenam jadi mari kita abaikan saja, maka aku selalu dengan egois mengatakan Tuhan sengaja menciptakan senja itu untukku. Dia biarkan aku terpesona sepuas-puasnya dan mengambil sebanyak yang aku mau. Mungkin dia berfikir, nikmati sepuasmu tapi senja ini tak bisa menjadi milikmu, karena toh dia selalu berhasil mengambil senjaku kapanpun dia mau. Seperti hidup kita

Ketika malam datang,terlebih jika disertai bintang  (aku tak terlalu mengharap kedatangan bulan, terkadang dia pemalu dan bersembunyi saja dibalik awan,menyebalkan) keadaan menjadi berlipat dramatis. Aku selalu mencoba mengajak bintang-bintang itu berbicara. Menyenangkan karena mereka tak bisa bicara dan sebanyak apapun aku bercerita mereka hanya akan berkedip. Aku menyebut mereka penggemar yang baik dan tak banyak mau tahu, tipe teman curhat favoritku. Maka aku bebas mengatakan apapun tentang teman misalnya, teman yang menyebalkan, teman yang menyebalkan sekali, teman yang saking menyebalkannya hingga kau berharap tidak mengenalnya saja, teman yang baik, teman yang kau anggap saudara, teman mencontek, teman sebangku dan macam-macam teman yang lain. Terkadang jika masalah teman menjadi membosankan maka pernah juga aku mengeluh tentang masalah cinta. Cinta monyet yang malu-malu, cinta buaya yang berbahaya dan saling membuka mulut, cinta kadal yang gesit bergerak hingga cinta bungklon yang tak menentu dan macam-macam jenis cinta lainnya. Kebanyakan malam-malam dengan topik seperti itu berakhir dengan air mata.

Dan itulah mengapa sekarang aku merindukan jendelaku. Jendela semacam itu sukar didapat di tempat inggalku sekarang. Jendela yang mau menjadi pendengar, jendela yang menawarkan belaian angin yang mengeringkan air mata, jendela yang menghiburku dengan bermacam-macam senja, jendela yang melambungkanku dengan bermacam-macam mimpi.
Adakah yang punya jendela semacam itu??call me then

Rabu, 29 September 2010

akhirnya

Dan akhirnya datang juga
saat ketika sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kita
saat itu kau dan aku menjelma menjadi kumbang dan ilalang
bertemu tapi tak saling bertegur sapa

Senin, 27 September 2010

kau dan aku

sayang, ada yang harus kita bicarakan
kenapa sekarang aku hanya bisa melihat separuh rembulan

mungkinkah karena kau menyimpan separuhnya dimatamu??

untukmu lelakiku

Tuhan aku benci laki-laki itu
Menyita setengah dari pikiranku hari ini
Membuat awan biru itu menjadi kelabu lalu hujan
Membuat angin sepoi-sepoi itu menjadi badai

Tuhan aku benci laki-laki itu
Aku benci cara dia bicara
Aku benci cara dia tertawa
Dan aku benci cara dia menggodaku

Tuhan aku benci laki-laki itu
Benci cara dia masuk ke otakku,menelusup dan mengendap
lalu pergi..

Tuhan usir dia dari otakku
Lenyapkan bayangnya dari imajinasiku
Cabut dia dari sudut-sudut mimpiku
Tenggelamkan dia dalam samudera keangkuhanku

Agar aku bisa terlelap
Berhenti terjaga hanya untuk merindukannya
bersama petang,bersama hujan

Perempuan

Kenapa kami tak boleh mengumpat
padahal kami sama kesalnya dengan kalian
kenapa kami tak boleh menolak
sementara kalian selalu mendapat apa yang kalian inginkan
seperti mimpi dan kebebasan
kenapa kami tak boleh mengeluh
padahal beban kita sama terasa
Apa karena kami perempuan?

Karena norma kau larang kami mengumpat
namun kaummu menebar umpatan bahkan hampir di setiap akhir kata
tapi membungkam kami atas nama norma
lalu kau sebut ini keadilan?

bagaimana jika nanti kami yang kalian umpat?
kau ingin kami menunduk dan terdiam?
lupakan kalau itu yang kau inginkan.

Bagaimana dengan kalian yang bebas melayangkan mimpi dan mengejarnya?
sementara atas nama tugas kau kurung kami di dapur
berteman jelaga dan amis ikan asin
terus dipersalahkan atas rumah yang berantakan dan masakan yang rasanya tak seenak rasa restoran
Lalu kau hibur kami dengan kata pengabdian
bicara padaku seperti itu,dan akan kukenalkan kau pada kartini dan bunda teressa
sambil kuolesi wajahmu dengan jelaga!

Bukan ini keadilan yang kami bayangkan
Bukan ini kebebasan yang kami harapkan
Bukan ini pengabdian yang ingin kami lakukan!

Minggu, 19 September 2010

Sebuah Perjalanan

Dulu aku bertanya seperti apa hutan sebenarnya?
seperti apa dunia ketika dilihat dari tempat yang lebih tinggi.
Tempat dimana rumah hanya tampak seperti sepotong permen,jalan raya terlihat bagai benang yang dihamburkan ke lantai dan manusia tak ubahnya titik-titik hitam yang berjalan sangat-sangat pelan yang bahkan takkan kau sadari keberadaannya.

Aku juga pernah bertanya tentang bagaimana rasanya ketika hanya ada kesunyian disekelilingmu yang bahkan suara tetes air terdengar berirama dan hanya ada kamu bersamanya.Ah pasti mendebarkan ketika meluncur bersama kelokan-kelokan sungai diantara derasnya jeram-jeram dan ketika tebing-tebing membisu bahkan ketika kau berteriak kegirangan mendapati hamparan samudera yang membentang di kejauhan.

Dan akupun memulai sebuah petualangan...

Larut dalam perjalananku sebuah kerinduan
Pernahkah olehmu dalam sebuah perjalanan terlintas untuk pulang?Meringkuk nyaman dalam dekap Ibu dan perlindungan Ayah,lelap dalam hangat selimut yang kau kenal.Tempat dimana kau merasa aman..

Saat angin malam tak lagi berkawan dan letih dengan cepat menjelma menjadi teman seperjalanan.Pernahkan terpikir olehmu untuk memutar arah.Sekedar untuk meneguk hangat sup dalam mangkuk

Pernahkah kau ingin mengadu tentang jurang yang menghampar di depanmu,tentang jeram-jeram yang siap menelanmu,tentang gelap yang memenjarakanmu dalam sunyi.Yang kau datangi tiap akhir pekan,demi apa yang kau sebut petualangan..

Pernahkah ingatmu melayang pada sosok yang menanti kepulanganmu yang berat melepas kepergianmu yang terpaksa rela

Aku pernah
Teringat pada mereka.Dengan beraneka pesan yang bergema,melarang ini,menolak itu,selalu khawatir dengan hal-hal baru.Terlintas kembali saat ibuku berlari sambil memanggilku,padahal belum genap 10m aku pergi.Sedikit terusik aku berbalik.Kulihat dia berlari membawa jaketku,tergesa,jaket yang sengaja kutinggal karena terlalu berat.
Raut khawatir terlihat jelas disana."Ini ketinggalan nanti kedinginan" ujarnya pelan.Aku tertegun.
Bahkan sekedar ucapan terimakasih pun tak kluar,bukan aku tak mau tapi aku tak mampu.

Aku tak pernah menengok lagi untuknya,karena menengok ke belakang hanya membuat mereka ragu akan kepergianku.
Dan melambatkan langkahku hanya menambah berat beban perjalanan.
Maka akupun berlari.Sambil membisikkan janji untuk kembali.
Tapi bahkan dari sudut mataku bisa kulihat dia mengawasiku sampai hilang aku ditelan belokan.
Dan masih kurasakan hangat tangannya didahiku

Karena setiap perjalanan tak pernah dimulai dengan mudah dan kata pulang tak pernah bisa dipastikan maka nikmatilah setiap prosesnya.Nikmati setiap detik lelahnya setiap tetes peluhnya setiap pahit getirnya.

Karena tiap kelokan menarik dengan kisahnya sendiri.