Selasa, 20 November 2012

Single Trip To Heaven

 


Dulu, dulu sekali saya pernah berkunjung ke Borobudur kalau tidak salah waktu itu saya masih SD. Tidak banyak yang bisa saya pelajari waktu itu, selain berhasil menggagahi bangunan yang merupakan salah satu keajaiban dunia. Kemudian dengan bangga berdiri di puncaknya. Paginya kaki saya bengkak.
Kemarin, saya sekali lagi berkunjung ke tempat tersebut. Sendiri. Karena tujuan saya kali ini memang ziarah, saya pikir tidak perlulah membawa rombongan berbanyak-banyak.Cukuplah bagi saya bisa berjalan santai di lorong-lorongnya, berputar searah jarum jam menikmati lekuk manja reliefnya. Kalopun pada akhirnya saya beruntung bertemu beberapa orang yang dengan sukarela bercerita mengenai fakta yang sangat menarik dari Candi Borobudur beserta filosofi dibaliknya, marilah kita anggap sebagai bonus. Munngkin karena banyak akhirnya tidak bisa dicerna paginya kaki saya tetap bengkak dan kepala saya berat.
Jika diamati Candi Borobudur terdiri dari 3 tingkat, tingkat pertama disebut kamadhatu (ranah hawa nafsu), tingkat ke dua disebut Rupadhatu (ranah berwujud dan tingkat yang terakhir adalah Arupadhatu (ranah tak berwujud). Saya sendiri kali ini tidak berminat untuk menulis banyak mengenai ketiga tingkatan tersebut. Penjelasan untuk pemula dapat dengan mudah ditemukan di wikipedia, dan penjelasan lebih mendalam tentu tidak bisa didapatkan dalam satu kali kunjungan singkat. Bagi saya lebih menarik ketika melihat bagaimana 160 panel cerita Karmawibhangga (relief mengenai kehidupan dunia yang penuh hawa nafsu) terkubur. Beberapa sumber mengatakan penguburan itu disengaja karena relief- relief tersebut menggambarkan adegan yang tidak pantas untuk dipamerkan saat ini karena unsur vulgar yang terkandung di dalamnya. Beberapa mengatakan penutupan dilakukan untuk memperkuat pondasi candi, dikhawatirkan candi akan ambles jika bagian bawahnya tidak diperkuat. Saya sih ambil aman saja, sayang sekali relief itu tidak bisa dipertontonkan. Toh apapun gambarnya relief itu sudah terukir disana dan saya yakin ke-vulgar-an relief tersebut tidak akan melebihi gambar-gambar yang bisa kita unduh di internet saat ini. Ini menjadi seperti membaca buku yang halaman awalnya disobek, maka makna endingnyapun menjadi kurang lengkap.
Ini buku cerita yg paling abadi


Semakin ke atas kita akan berjumpa dengan sejumlah patung budha yang tidak berkepala. Kepala mereka tentu tidak hilang begitu saja, sejak Candi Borobudur kembali ditemukan pada tahun 1814. Bangunan tersebut mengundang banyak perhatian dari seluruh dunia, tak terkecuali para kolektor barang antik. Patung-patung Budha itu pun dipenggal untuk memenuhi permintaan tersebut, illegal tentu saja. Tak hanya itu, pernah pula pemerintah Hindia Belanda dengan sengaja melakukan pemindahtanganan arca dan beberapa relief kepada Raja Thailand. Hanya karena sang raja merasa terkesan dan ingin memiliki benda tersebut. Saat ini barang-barang tersebut dipamerkan di Musium Nasional di Bangkok. Bayangkan kau dipisahkan dari ragamu dengan paksa kemudian dibawa pergi keseberang lautan. Para kolektor tersebut pastilah mendengar kepala Budha itu menangis tiap malam, karena bangsa kita ternyata terlalu sibuk untuk sekedar menangisi penjarahan itu.

Cerita lain yang membuat sedih adalah pemboman yang dilakukan oleh sekelompok muslim beraliran ekstrem, pada 21 Januari 1985. Kejadian ini membuat 9 stupa di tingkat arupadhatu rusak parah dan harus direnovasi. Meskipun pada akhirnya pelaku pemboman tertangkap dan dihukum namun tetap saja ada luka yang tidak bisa disembuhkan di badan sejarah. Saya muslim dan sangat malu dengan kejadian tersebut. Saya baru lahir 4 tahun 3 bulan dan 5 hari setelah kejadian tersebut. Jadi bayangkan, seumur hidup saya meskipun saya mengunjungi Borobudur berkali-kali, yang saya lihat bukan versi asli stupa yang dibangun pada masa Syailendra. Yang bisa saya nikmati hanya replika. Replika stupa dan patung-patung Budha tanpa kepala. 
don't you hear them crying every night?

Puas berkeliling, atau lebih tepatnya letih dan kepanasan, saya turun dan masuk ke museum Kharmawibhangga. Museum tersebut kita bisa melihat foto beberapa potongan relief candi Borobudur, termasuk juga foto-foto pertama yang memperlihatkan kondisi awal Candi Borobudur sebelum pemugaran dan foto paska pemboman. Agak menyesal juga kenapa tadi tidak masuk ke museum dulu baru naik ke atas, penjelasan di sini akan lebih banyak membantu pemahaman di sana

Ketika saya mampir kesana ruangan tersebut kosong, hanya ada satu penjaga yang berjaga disana. Pak Wandi, bapak inilah yang akhirnya berbaik hati menemani saya berkeliling. Kami berhenti di sebuah patung Budha yang secara khusus dipindahkan dari stupa puncak candi Borobudur. Sepintas patung ini seperti patung budha lainnya, lebih jelek malah, karena beberapa bagiannya seperti belum selesai dikerjakan dan terlihat sangat kasar. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan patung tersebut, karena letaknya memang tidak di kawasan bagunan utama. Meskipun begitu menurut saya, ini menurut saya lo, patung ini menyimpan simbolisme yang bahkan membuat konsep mandala dan arsitektur Borobudur terlihat biasa saja. Sekali lagi ini menurut saya lo.
batu yang berjajar ini merupakan baian dari candi yang terlepas dan belum ditemukan tempat aslinya, for me its looks like single peolpe waiting for a romance..hey shit happens,right?

Unfinish Budha atau patung Bundha yang belum selesai, begitu nama yang tertera di petunjuknya. Sesuai namanya patung ini memang terlihat seperti belum selesai, banyak versi yang mencoba menjelaskan kenapa patung ini terlihat lebih buruk dari patung yang lain. Versi favorit saya adalah yang menyebutkan jika patung ini bukan belum selesai tapi memang tidak akan pernah bisa diselesaikan. Alkisah, ketika pengerjaan Borobudur hampir selesai para pekerjanya ingin membuat karya yang monumental di bagian puncaknya. Dengan stupa yang paling besar, patung Budha pengisinya juga harus paling istimewa dan SEMPURNA. Setelah sekian lama mencoba memahat patung tersebut, akhirnya diputuskan untuk memasang patung tersebut sebagaimana yang bisa kita lihat saat ini. Bukan karena waktu yang sudah mendesak, tapi karena akhirnya konsep kesempurnaan tidak bisa dicetak kedalam sebuah patung. Konsep tersebut terlalu besar, terlalu absurb, dan jujur saja bukan untuk manusia. Bahkan kita mengenal istilah “Kesempurnaan hanya milik Tuhan”
Unfinish Budha, disini saya punya rahasia :)

Maka dipasanglah patung tersebut, untuk kemudian mengingatkan betapa apapun yang telah menusia buat dan lakukan pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Tuhan. Bahkan setelah kita pada akhirnya berhasil naik tingkat dari Kamadhatu ke Rupadhatu atau bahkan berhasil memahami Arupadhatu sekalipun, kita tidak pernah sempurna. Kalo para leluhur kita yang sanggup membangun mahakarya Borobudur saja tidak berani menganggap diri mereka sendiri sempurna apa lagi saya, yang membuat rumah kardus saja belum becus.

Sebenarnya yang menarik dari patung tersebut bukan hanya itu, masih menurut Pak Wandi, patung tersebut sering digunakan untuk memanjatkan doa. Saya garis bawahi digunakan untuk memanjatkan doa itu berarti digunakan sebagai sarana berdoa kepada Tuhan, sama seperti masjid, gereja, atau sinagog. Hanya orang pekak yang menganggap ketika kita berdoa di masjid berarti kita menyembah masjid tersebut. Sarana dan tujuan itu berbeda sangat 

Orang yang datang bermacam-macam, ada yang berdoa untuk kesembuhan penyakit, ada yang berdoa untuk kesembuhan ekonomi namun mitos yang paling menggoda untuk saya coba adalah jika kita memandikan patung tersebut dengan air yang disediakan disampingnya “Maka bagi siapa saja yang belum bertemu jodoh akan dimudahkan jodohnya”. Sebagai penganut asas ‘selama tidak rugi dicoba saja’ saya langsung beranjak dan memandikan patung tersebut diiringi Pak Wandi yang tertawa terbahak-bahak. Siapa tahu!..ya siapa tahu..

Perjalan saya hari itu sungguh menyenangkan, saya sunguh tidak akan pernah melupakan patung-patung Budha yang menjerit meratapi kepala mereka yang dijarah, relief-relief laksana buku cerita yang menunggu dibaca, patung unfinish Budha yang bisa mengajarkan kita tentang kesempurnaa. Dan tentu saja teman baru saya, Pak Wandi.

Terimakasih lain waktu saya akan datang lagi



Senin, 08 Oktober 2012

THE POISONOUS




Dan kapan tepatnya kita sadar jika semua cerita akan sangat kering dan membosankan tanpa campur tangan tokoh-tokoh jahat seperti mereka :)

Will Cinderella meet the charming prince in her glorious gown and famous glass shoes?
NOPE
Will Sleeping beauty know how exactly spinning machine looks like?
NOPE
Will Snow White have a fantastic journey through the unknown forest and meet the seven dwarf?
NOPE
Will Anita met Roger in 101 Dalmatians without Cruella's involvement?
Um..yeah actually

Ah.. and plus one, every princess wont have any opportunity to show the world how strong they are without them. Yeah..that's why we should thanks to them!

Minggu, 02 September 2012

Sunset

Apa yang kamu harapkan dari kejadian rutin yang terjadi kurang dari 5 menit itu?
tak ada selain hari esok yang lebih baik dari hari ini....

for me sunset is not just a daily circle
sunset is a short moment to remembering that how cruel your day, you still have tomorrow!!
#optimist

Rabu, 29 Agustus 2012

Coffee

Enjoy coffee...

Oops..Shit Happens

Betapa mengejutkan bagaimana terkadang kita bisa terdepak dari kehidupan kita yang nyaman dengan begitu kerasnya. Saya tidak bermaksud menangis meraung-raung di sini untuk menyesali beberapa bulan terberat dalam hidup saya, saya sudah pernah melakukannya,believe me. Saya hanya merasa perlu untuk membuat sebuah catatan kaki yang mengingatkan bahwa even you tried so hard to make your live as comfort as your wish, there's  a "Shit Happens" moment. Dan yang bisa benar-benar kita lakukan hanya menunggu sampai kotoran itu mengering dan baunya benar-benar hilang, and it's not as easy as Mario Teguh said.

Sama seperti orang lain pada awalnya kehidupan saya luar biasa, saat itu saya hampir menyelesaikan kuliah saya, punya seseorang yang benar-benar spesial, punya teman-teman yang sudah saya anggap seperti keluarga. Everything was normal and happy. Hidup berputar dan hukum alam berjalan. My live slowly but sure turn back into disaster. Pada saat itulah saya benar-benar merasa there's no happily ever after.
Saya pernah merasa sekacau ini

Tepat ketika saya lulus dan mendapat pekerjaan, saya kehilangan seorang sahabat untuk sebuah alasan yang saya tidak tahu dan hubung saya dengan "someone special' berakhir dengan mengerikan. Cukup mengerikan sampai saya memutuskan untuk memutus semua jalur komunikasi. Bahwa fakta saya (mencoba) memaafkannya memang benar, tapi untuk menjadi teman baik seperti permintaannya sementara ini harus saya tangguhkan untuk waktu yang sangat lama. Tidak semudah itu ternyata memperbaiki hubungan dengan orang yang sudah pernah kita sangat percaya, yang kemudian membuat kita terbangun tengah malam dan menangis, yang kemudian kita tahu mengajak wanita lain menikah. Jika anda perempuan anda pasti tahu maksud saya dengan "tidak semudah itu". Bahwa memaafkan dan melupakan ternyata dua kata dengan jumlah suku kata yang sama yang tidak tersinkronisasi satu sama lain.

Saya mencoba menguatkan diri dengan mengatakan jika semuanya baik-baik saja dan saya akan tetap sekuat batu karang. Selama beberapa bulan saya tetap pada pendirian saya, mencoba mengatasi semuanya sendiri. Dan selama beberapa bulan itulah saya menjadi tertikam semakin dalam.
Saya pernah menjadi semenyedihkan ini
Untunglah Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang baik. Teman dan keluarga saya. Mereka membantu dengan mendengarkan semua umpatan, menemani di saat saya benar-benar membutuhkan, dan berbagi pengalaman yang membuat saya menyadari jika hal-hal seperti itu terjadi kepada banyak orang. Beberapa kisah berakhir jauh lebih menyedihkan dari pada versi saya ternyata. Semenjak saat itu saat belajar menerima sebuah kegagalan. Ya, ternyata sebuah kegagalan lebih mudah dilalui ketika kita dengan lapang dada mengakuinya. Saya masih terpukul, terkadang masih menangis sambil mendengarkan lagu-lagu cengeng. Ada nyeri yang masih terasa, yang akan selalu mengigatkan saya betapa sesuatu yang kita sayangi selalu bisa meninggalkan kita kapan saja. Saya (dipaksa) belajar sangat banyak dengan kejadian ini.

Dan seperti kata teman saya, waktu akan menyembuhkan semua luka. Mungkin sekarang belum saatnya luka saya sembuh sepenuhnya, tapi suatu saat nanti semua akan kembali baik seperti pada awalnya.  Toh, yang benar-benar kuat bukan mereka yang tidak pernah terjatuh, tapi mereka mampu kembali bangun dan berlari.Tuhan tahu dan menunggu kapan kesempatan yang tepat untuk saya kembali berlari.

I will turn in a lion :)
Waktu berputar rebulan dan matahari
Bunga yang mekar akan layu akan mati
Malam ‘kan berakhir, hari ‘kan berganti
Takdir hidup ‘kan dijalani

Andai bisa ku mengulang
Waktu hilang dan terbuang
Andai bisa perbaiki segala yang terjadi
Tapi waktu tak berhenti
Tapi detik tak kembali
Harap ampunkan hamba-Mu ini








Minggu, 29 Juli 2012

Raja Ampat, setelah kalian pulang...



Lihatlah kapal kalian telah datang..
Siang itu aku memandang kalian yang ramai bercakap tentang perjalanan pulang, bercanda tentang kulit yang menghitam dan banyaknya barang bawaan. Terbayang di pelupuk kalian keluarga yang akan menyambut dengan bangga, anak-anak mereka yang pulang dari pulau seberang. Membayangkan hari raya Idul Fitri yang sebentar lagi datang. Kalian semua berharap kapal itu segera datang. Perjalanan ini memang menyenangkan tapi selalu kita rindu untuk pulang.
Siang itu aku berharap adalah bagian dari kalian, ya berharap…karena aku seperti yang kalian juga tahu tidak pulang hari ini. KKN kita telah usai seharusnya kita bersama-sama mengangkat koper dan pulang, tapi aku punya rencana yang sedikit berbeda. Aku memilih tinggal lebih lama, bersikeras mengambil data untuk skripsiku di tempat ini. Dan baru akan pulang setelah Lebaran.
                Perpisahan di dermaga itu berlangsung cepat, kita saling melambai melepas kepergian. Kita memulai perjalanan ini dengan cara yang sama dan mengakhirinya dengan jalan yang berbeda. Selamat jalan kawan, semoga selamat sampai tujuan.

Setelah ini hanya ada kita bertiga..
                Aku tidak tinggal sendirian, masih tersisa dua orang teman yang bersedia terdampar di tempat ini lebih lama. Meskipun tidak pernah aku ungkapkan, sebenarnya keberadaan mereka sangat penting. Mereka lebih dari sekedar tukang angkat barang, tukang ambil data, tukang masak, tukang cerita, tukang cuci baju, tukang basa-basi maupun tukang pukul. Sejauh ini mereka adalah sahabat dan teman perjalanan yang menyenangkan, tentu saja tidak termasuk beberapa kasus spesial dimana mereka terkadang bertingkah sangat menyebalkan. Kedua manusia beruntung itu adalah Radityo Donipawoko dan Muhammad Hafizt.

                Segera setelah hanya tinggal kami bertiga, kamipun menyusun rencana untuk segera menuju lokasi penelitian, yaitu Desa Sawinggrai. Desa itu terletak tidak jauh dari Ibukota Kecamatan, Yanbekwan. Dia terletak tepat di depannya, hanya saja terbatas selat sepanjang 30 menit perjalanan menggunakan kapal motor 40 PK.  Hari itu selepas kalian pergi, adalah hari dimana kami sibuk berbelanja kebutuhan pangan dan mencari tumpangan kapal menuju Sawinggrai. menjadi luar biasa sulit karena entah mengapa ketersediaan bahan bakar minyak sulit didapat di Waisai. Kapal paling cepat yang bisa kami tumpangi baru berangkat esok hari, yang artinya kami harus melewatkan malam sekali lagi di Waisai.
                Rumah itu tiba-tiba menjadi sepi, apalagi di malam hari. Dan terimakasih untuk semua cerita menyeramkan yang kalian tinggalkan. Malam itu aku tidak mau tidur sendiri.

Sawinggrai, here we come..
Perjalanan dari Waisai menuju Distrik Meos Mansuar bukan hal baru bagiku, tapi menggunakan kapal kecil bertenaga 20 PK jelas berbeda. Kapal yang kami tumpangi milik Bapak Abdul Hadi, warga Yanbekwan, yang kemudian disewa oleh Bapak Mantri. Sebenarnya kapal itu hanya akan berlabuh di Yanbekwan tapi kami meminta tolong untuk sekalian saja diantar ke Sawinggrai. Karena biasa menggunakan kapal bertenaga 40 PK perjalanan kali itu terasa sangat lama, semua seakan berjalan dalam gerak lambat. Laut biru..ombak..laut biru..ombak begitu berulang-ulang sampai mual perutku dibuatnya.
Sesampai di Saonek tiba-tiba laju kapal menjadi pelan, sebenarnya aku tak terlalu menyadari sampai Pak Abdul menyatakan jika kami kehabisan minyak. Kami ditengah laut, terombang ambing dan kehabisan minyak. Tidak terdengar menyenangkan. Pak Hadi mencoba meminjam minyak kepada kapal yang kebetulan melintas, tapi karena ketersediaan minyak di Waisai saat itu langka dan minyak merupakan benda berharga di sini, maka usaha itu sia-sia belaka. Menyadari betapa kritisnya keadaan saat itu Pak Abdul segera merapatkan kapalnya ke Saonek. Ampun, panasnya siang itu..setelah terpanggang matahari di lautan masih kami harus berputar-putar di Saonek mencari minyak. Beruntungnya ketika ada seorang pemilik kios yang mau memberikan sedikit minyak . Tragedi ini sedikit banyak menyadarkan kami jika ketergantungan terhadap minyak di sini sangat tinggi. Tanpanya mereka bahkan tak bisa beranjak kemana-mana. Suatu saat nanti ketika sering terdengar berita kelangkaan BBM maupun ancaman harga BBM yang merangkak naik, aku akan selalu ingat peristiwa siang itu. Berharap kondisi di sana tidak menjadi lebih buruk.
Kawan, akhirnya kami sampai di Sawinggrai. Disambut dengan tatapan heran dari penduduk setempat, mungkin mereka berpikir kami adalah turis. Tapi, kalo dipikir-pikir mengingat bawaan kami yang seperti orang mudik itu, mana ada turis yang merapat sambil menggotong-gotong karung beras. Ralat. Hanya dua teman saya yang tergopoh-gopoh mengangkat perbekalan sementara aku melompat ke dermaga dan beranjak menemui kepala kampung, dengan lincah. Inilah salah satu saat dimana aku sebenarnya sangat menikmati melihat mereka perkasa mengangkat semua logistik tim.
Dengan segala kebaikannya bapak kepala kampung memberikan kami izin untuk tinggal, sekaligus sebuah pondok informasi untuk hunian sementara. Pondok itu terletak tak jauh dari dermaga, berdinding kayu, berukuran kurang lebih 4x4 meter yang terdiri dari 2 kamar dan sebuah dapur. Di tempat itulah kemudian kami tinggal dan melakukan hal-hal bodoh.
Kondisi Sawinggrai berbeda dengan Sauwandarek, disini sumur air tawar berada di luar kampung yang membuat air tawar menjadi sesuatu yang berharga dan harus dihemat. Tidak ada sinyal, kecuali di sebuah tempat di sudut dermaga yang entah benar atau tidak karena sampai kami pulang kami tak pernah berhasil menemukan letak tempat tersebut, dan tidak ada listrik waktu malam di pondok kami. Kecuali jika penduduk kampung sedang menyalakan generator untuk keperluan kampung. Untuk masalah ini kami sangat berterimakasih kepada Bapak Yasaya Mayor pemilik resort Mambefor yang memberikan ijin bagi kami untuk memanfaatkan listrik di tempatnya.
Penelitian yang kami lakukan menuntut banyak interaksi dan wawancara dengan masyarakat. Pengalaman dua bulan KKN di Sauwandarek membuat kami sedikit banyak paham tentang kondisi sosial masyarakat di sana yang tentu saja sangat membantu. Tidak banyak kesulitan yang kami alami, namun hal-hal konyol itu memang selalu tidak dapat dihindari. Seperti, ketika kami harus mencari data mengenai hutan adat dan sejarah Raja Ampat. Tidak banyak orang yang tahu mengenai hal tersebut, oleh karena itu kami disarankan menemui seorang sesepuh yang tinggal di kampung sebelah. Kampung itu letaknya tidak jauh, hanya kurang lebih 40 menit jalan kaki, melewati jalan setapak yang sepi di pinggir pantai, hamparan mangrove, dan sebuah kompleks pemakaman. Tidak ada yang salah, jika saja kami tidak harus menemui beliau pukul 8 malam. Ya, pukul 8 malam.
Maka malam itu penjadi malam terpanjang dalam sejarah perjalanan kami. Berbekal senter dan jaket kami berjalan berimpit-impitan sambil bercakap-cakap mengurangi ketegangan. Sepanjang perjalanan aku tentu saja mencari tempat paling menguntungkan, yaitu berada di tengah-tengah. Sambil  berpegangan pada ujung jaket mereka. Bukan, ini bukan salah satu saat dimana kami sedang akur, ini salah satu saat dimana aku tidak mau ambil resiko mereka tiba-tiba berlari meninggalkanku saat kami melintasi kuburan. Membayangkan kuburan itu di malam hari saja sudah membuatku sangat ngeri apa lagi kalo harus melewatinya sendiri.
Wawancara malam itu berjalan menegangkan. Kami berada di bangunan kantor pemerintah yang masih dalam tahap pembangunan dengan sebuah meja besar teronggok ditengahnya dan beberapa buah kursi. Lengkap dengan beberapa kayu yang masih malang melintang dan kaleng cat berserakan di sekitarnya. Tidak ada listrik, hanya cahaya lilin yang bergoyang seirama debur ombak di luar sana. Sementara angin malam yang usil terus saja mencoba menelusup ke dalam jaket yang kukenakan. Dan lebih dari semua horror screen yang kami lalui adalah pembicaraan mengenai Raja Ampat di masa lalu, lengkap dengan cerita mengenai roh-roh halus dan para hantu penunggu pulau. Apa kataku, cerita horor yang bagus selaku ditunjang dengan setting yang tidak setengah-setengah. Kurang lebih pukul sebelas wawancara itu usai sudah. Dan ini adalah saat dimana aku bersedia menukar semua logistik yang aku miliki untuk mendapat tawaran menginap semalam, yang akhirnya tidak pernah kami dapatkan.
 Malam masih remang-remang, angin masih bertiup tertahan, dan sepanjang perjalanan aku mencoba mati-matian menahan langkah kaki untuk tidak berlari ketakutan setiap terdengar bunyi burung atau daun jatuh. Atau aku hanya akan mendapati diriku berada di depan, sendirian.


Hari Raya tanpa ketupat opor dan gema takbir
                Sebagai orang  yang berasal dari Jawa menjadi muslim adalah juga menjadi mayoritas. Bulan Ramadhan akan berarti sirine yang meraung-raung ketika azan Magrib tiba, kentongan bertalu-talu saat sahur, dan jamaah yang berbondong-bondong untuk tarawih. Kemudian Idul Fitri adalah pesta opor ayam yang diiringi orchestra suara takbir. Tapi itu di Jawa, kawan bukan disini.
                Di sini ketika kami adalah minoritas, karena hanya ada satu keluarga muslim lain di desa ini, maka malam menjelang Idul Fitri adalah malam yang sepi. Dalam arti kiasan dan sebenarnya. Setelah berbuka kami memutuskan membuang kesepian ini dengan menghabiskan malam di resort Pak Yasaya, sekedar menghindari pondok kami yang gelap. Di sana sambil menatap laut yang kelam anganku melayang. Melayang pulang. Malam itu sejenak, setelah sekian lama kutepis-tepis kubiarkan rinduku melayang jauh, terombang-ambing bersama arus lautan, melewati pulau-pulau yang berjajar, kemudian terdampar di Parang Tritis. Dari Parang Tritis biarlah rinduku naik angkot, berganti beberapa kali hingga sampai dia di ujung gang rumahku. Biarkan dia berjalan perlahan sampai dia bertemu rumah bercat coklat, menembus lubang kunci dan menikmati kehangatan dibaliknya. Malam itu aku tenggelam pada hal paling klise yang bisa dialami oleh cucu Adam paling tolol sekalipun, aku rindu keluargaku.
                Ditengah badai melankolisme yang melanda akhirnya kami bertiga memutuskan membuat ucapan selamat lebaran dengan menggunakan handycamp, yang kami tahu tidak akan bisa kami kirimkan ke siapapun tepat waktu. Sebuah rekaman permintaan maaf untuk masing-masing keluarga Havizt di Riau, keluarga Doni di Madiun, dan keluargaku di Jogja karena lebaran tahun ini kursi kami di rumah tak terisi.
                Paginya kami sengaja bangun jauh lebih awal karena kami telah meminta untuk diantar ke Waisai, agar bisa ikut shalat ied. Namun yang ditunggu tak kunjung tiba dan matahari telah tinggi. Bisa dipastikan jika berangkat sekarangpun bisa dipastikan kami tidak bisa tiba disana tepat waktu. Usut punya usut ternyata kami mengalami perbedaan pemahaman karena latar belakang budaya yang berbeda. Aku dan Doni yang notabenya adalah Jawa tulen serta Hafizt pemuda melayu rantau merasa tidak enak hati dan tidak cukup sopan untuk mengetuk pintu rumah orang lain di pagi buta, apalagi kami bahkan tidak mendengar tanda-tanda keberadaan orang didalamnya. Maka kamipun memutuskan menunggu. Sementara pace-pace tersebut, ternyata juga merasa tidak enak hati jika menghampiri kami lebih dulu. Maka kami semua terjebak dalam situasi saling tunggu, dirumah masing-masing.
 Ketika kami akhirnya bisa menertawakan kesalah pahaman ini dan berangkat ke Waisai kami sudah terlambat untuk ikut salat ied. Kami disambut pemandangan orang-orang berbaju muslim, saling mengucapkan salam dan tidak diragukan lagi, gembira ria. Namun yang lebih mengejutkan adalah ketika kami menghubungi keluarga kami masing-masing, ternyata pemerintah telah menetapkan jika hari raya Idul Fitri adalah besok pagi, meskipun tidak ada larangan bagi siapapun yang merayakan hari ini. Ya, faktanya adalah keluarga di kampung kami masing-masing bahkan masih menikmati hari terakhir puasa Ramadhan disaat kami bahkan telah terlambat untuk mengikuti salat ied.

Hello, my name is Fawes
Sore itu kami bertiga tidak sedang berada pada mood yang menyenangkan, aku lupa apa masalahnya tapi akhirnya aku memutuskan untuk menyingkir dari mereka berdua dan memberi makan ikan di area resort. Di sana, diujung dermaga kujumpai lelaki yang bersandar sambil memandang lautan. Seorang lelaki yang tidak kukenal, seorang turis asing ternyata.
Namanya Fawes, atau paling tidak itulah yang aku tangkap karena nama aslinya sangat sulit diucapkan untuk lidah lokalku, seorang turis dari Perancis. Kami bercerita tentang banyak hal, tentang penelitian yang kulakukan dan tentang alasan dia memilih resort ini. Bagiku agak aneh ketika dia memilih Sawinggrai sebagai tempat menginap, atraksi wisata di sini memang berbeda dengan di kampung wisata lain, tapi fasilitas komunikasi dan listrik sangat terbatas yang membuat jarang ada tamu yang menginap dalam waktu lama. Wisata disini adalalah kunjungan singkat mengamati burung cenderawasih di habitat aslinya, setelah itu wisatawan biasanya kembali ke resort mereka di kampung lain. Resort-resort yang dilengkapi telepon satelit, kamar mandi berpemanas, dan mini bar.
Tapi ternyata bagi Fawes resort inilah yang tepat, tidak dengan kemewahan tapi keramahan masyarakatnya. Resort ini memang tidak berjarak dengan rumah warga yang lain sehingga memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Berbeda dengan resort mewah di kawasan Meos Mansuar yang dikelola pendatang maupun asing, Mambefor dimiliki dan dikelola oleh warga setempat. Dimana keberadaan resort ini akan memberikan kontribusi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Bukankah memang ini seharusnya pembangunan wisata di Raja Ampat ditujukan, kesejahteraan masyarakat setempat?

Selain banyak berbagi cerita Fawes juga menawarkan bantuan yang sangat berarti untuk penelitian ini, dia menawarkan kameranya untuk digunakan mengambil data. Beberapa foto bahkan sengaja dia ambil sendiri untuk meringankan pekerjaanku. Sangat membantu mengingat kami hanya membawa handycam sebagai sarana dokumentasi, itupun pinjaman dari seorang kenalan dari Waisai.
Banyak yang kami lalui bersama setelah itu, diantaranya adalah ketika suatu sore dia dan Pak Yasaya mengajak kami ikut dalam salah satu perjalanan ke Wayak Mini dan melihat manta. Tentu saja dengan Fawes menanggung semua biaya perjalanannya, “Kalian kan pelajar”, begitu selalu dia berkata. Perjalanan yang menyenangkan, meskipun bagi salah satu dari kami ini juga merupakan perjalanan yang sangat melelahkan.
Begini ceritanya, selama perjalanan Pak Yasaya meminta tolong salah seorang dari kami untuk memijat punggungnya karena beliau merasa sedikit tidak enak badan. Pekerjaan mulia itu akhirnya jatuh ditangan hafizt, jadilah dia sepanjang perjalanan memijat punggung Pak Yasaya sementara kami berdua tersenyum-senyum simpul melihatnya. Sesampai kembali di Sawinggrai kami mengucapkan terimakasih dan pamit untuk menyiapkan makan malam, tak lupa mengundang Fawes untuk datang dan minum kopi bersama.
Pada saat kami menyiapkan makan malam tiba-tiba aku menyadari jika hanya ada aku dan Doni yang berada di pondok, hafizt tiba-tiba menghilang entah kemana. Kami waktu itu mengira dia hanya pergi mandi. Lama berselang dan dia bahkan belum kembali, semua makanan sudah matang tapi karena kami selalu mulai makan bersama mau tak mau kami menunggunya. Aku sudah mulai tidak sabar, Doni sudah mulai lapar. Ini sudah terlalu lama bahkan jika dia harus pergi mandi di kampung sebelah.
Tiba-tiba, muncullah laki-laki melayu itu dari balik pintu. Kusut. Dan membawa sebuah piring berisi ikan bakar. Sebelum kami sempat bertanya, merepetlah mulutnya bercerita jika ketika kami pamit pulang tadi Pak Yasaya memanggilnya kembali. Meminta dia meneruskan tugasnya yang terpotong, sebagai tukang urut. Tak main-main hampir dua jam Hafizt menunaikan tugasnya. Sambil dia bercerita aroma minyak urut yang pekat menguar dari badannya, terbayanglah bentuk penderitaan macam apa yang baru dia lalui. Saat itu sebagai teman, bentuk simpati yang bisa kami berikan adalah menertawakan kejadian itu habis-habisan, karena untung bagi kami mendapat tambahan lauk makan malam.

Kapal kami telah tiba
Aku tidak pernah bisa melupakan hari dimana kami memutuskan untuk pulang. Kami tidak bersaudara, kami bahkan tidak mengenal orang-orang ini sebelumnya, hanya tinggal tidak lebih dari sepuluh hari, merepotkan dan banyak bertanya. Namun, tapi ketika kami pulang beberapa bahkan menitikkan air mata. Mereka mau repot-repot mengantarkan kami ke dermaga, membawakan barang-barang kami, anak-anak menyanyikan lagu perpisahan, mama-mama memberi ku banyak pesan. Ada haru di tiap pelukan dan jabat tangan yang mereka berikan. Dalam hati aku berharap Sawinggrai tidak sejauh itu dari Jogja, sehingga aku bisa berkali-kali mengunjunginya. Dan terimakasihku untuk semua yang aku dapatkan di sana tak terhingga. Mungkin aku hanya merasa sangat terkesan.

Ada laut yang akan selalu kurindukan, ada cerita yang tak akan pernah kulupakan, dan ada keluarga baru yang suatu saat nanti akan kukujungi lagi.