Selasa, 20 November 2012

Single Trip To Heaven

 


Dulu, dulu sekali saya pernah berkunjung ke Borobudur kalau tidak salah waktu itu saya masih SD. Tidak banyak yang bisa saya pelajari waktu itu, selain berhasil menggagahi bangunan yang merupakan salah satu keajaiban dunia. Kemudian dengan bangga berdiri di puncaknya. Paginya kaki saya bengkak.
Kemarin, saya sekali lagi berkunjung ke tempat tersebut. Sendiri. Karena tujuan saya kali ini memang ziarah, saya pikir tidak perlulah membawa rombongan berbanyak-banyak.Cukuplah bagi saya bisa berjalan santai di lorong-lorongnya, berputar searah jarum jam menikmati lekuk manja reliefnya. Kalopun pada akhirnya saya beruntung bertemu beberapa orang yang dengan sukarela bercerita mengenai fakta yang sangat menarik dari Candi Borobudur beserta filosofi dibaliknya, marilah kita anggap sebagai bonus. Munngkin karena banyak akhirnya tidak bisa dicerna paginya kaki saya tetap bengkak dan kepala saya berat.
Jika diamati Candi Borobudur terdiri dari 3 tingkat, tingkat pertama disebut kamadhatu (ranah hawa nafsu), tingkat ke dua disebut Rupadhatu (ranah berwujud dan tingkat yang terakhir adalah Arupadhatu (ranah tak berwujud). Saya sendiri kali ini tidak berminat untuk menulis banyak mengenai ketiga tingkatan tersebut. Penjelasan untuk pemula dapat dengan mudah ditemukan di wikipedia, dan penjelasan lebih mendalam tentu tidak bisa didapatkan dalam satu kali kunjungan singkat. Bagi saya lebih menarik ketika melihat bagaimana 160 panel cerita Karmawibhangga (relief mengenai kehidupan dunia yang penuh hawa nafsu) terkubur. Beberapa sumber mengatakan penguburan itu disengaja karena relief- relief tersebut menggambarkan adegan yang tidak pantas untuk dipamerkan saat ini karena unsur vulgar yang terkandung di dalamnya. Beberapa mengatakan penutupan dilakukan untuk memperkuat pondasi candi, dikhawatirkan candi akan ambles jika bagian bawahnya tidak diperkuat. Saya sih ambil aman saja, sayang sekali relief itu tidak bisa dipertontonkan. Toh apapun gambarnya relief itu sudah terukir disana dan saya yakin ke-vulgar-an relief tersebut tidak akan melebihi gambar-gambar yang bisa kita unduh di internet saat ini. Ini menjadi seperti membaca buku yang halaman awalnya disobek, maka makna endingnyapun menjadi kurang lengkap.
Ini buku cerita yg paling abadi


Semakin ke atas kita akan berjumpa dengan sejumlah patung budha yang tidak berkepala. Kepala mereka tentu tidak hilang begitu saja, sejak Candi Borobudur kembali ditemukan pada tahun 1814. Bangunan tersebut mengundang banyak perhatian dari seluruh dunia, tak terkecuali para kolektor barang antik. Patung-patung Budha itu pun dipenggal untuk memenuhi permintaan tersebut, illegal tentu saja. Tak hanya itu, pernah pula pemerintah Hindia Belanda dengan sengaja melakukan pemindahtanganan arca dan beberapa relief kepada Raja Thailand. Hanya karena sang raja merasa terkesan dan ingin memiliki benda tersebut. Saat ini barang-barang tersebut dipamerkan di Musium Nasional di Bangkok. Bayangkan kau dipisahkan dari ragamu dengan paksa kemudian dibawa pergi keseberang lautan. Para kolektor tersebut pastilah mendengar kepala Budha itu menangis tiap malam, karena bangsa kita ternyata terlalu sibuk untuk sekedar menangisi penjarahan itu.

Cerita lain yang membuat sedih adalah pemboman yang dilakukan oleh sekelompok muslim beraliran ekstrem, pada 21 Januari 1985. Kejadian ini membuat 9 stupa di tingkat arupadhatu rusak parah dan harus direnovasi. Meskipun pada akhirnya pelaku pemboman tertangkap dan dihukum namun tetap saja ada luka yang tidak bisa disembuhkan di badan sejarah. Saya muslim dan sangat malu dengan kejadian tersebut. Saya baru lahir 4 tahun 3 bulan dan 5 hari setelah kejadian tersebut. Jadi bayangkan, seumur hidup saya meskipun saya mengunjungi Borobudur berkali-kali, yang saya lihat bukan versi asli stupa yang dibangun pada masa Syailendra. Yang bisa saya nikmati hanya replika. Replika stupa dan patung-patung Budha tanpa kepala. 
don't you hear them crying every night?

Puas berkeliling, atau lebih tepatnya letih dan kepanasan, saya turun dan masuk ke museum Kharmawibhangga. Museum tersebut kita bisa melihat foto beberapa potongan relief candi Borobudur, termasuk juga foto-foto pertama yang memperlihatkan kondisi awal Candi Borobudur sebelum pemugaran dan foto paska pemboman. Agak menyesal juga kenapa tadi tidak masuk ke museum dulu baru naik ke atas, penjelasan di sini akan lebih banyak membantu pemahaman di sana

Ketika saya mampir kesana ruangan tersebut kosong, hanya ada satu penjaga yang berjaga disana. Pak Wandi, bapak inilah yang akhirnya berbaik hati menemani saya berkeliling. Kami berhenti di sebuah patung Budha yang secara khusus dipindahkan dari stupa puncak candi Borobudur. Sepintas patung ini seperti patung budha lainnya, lebih jelek malah, karena beberapa bagiannya seperti belum selesai dikerjakan dan terlihat sangat kasar. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan patung tersebut, karena letaknya memang tidak di kawasan bagunan utama. Meskipun begitu menurut saya, ini menurut saya lo, patung ini menyimpan simbolisme yang bahkan membuat konsep mandala dan arsitektur Borobudur terlihat biasa saja. Sekali lagi ini menurut saya lo.
batu yang berjajar ini merupakan baian dari candi yang terlepas dan belum ditemukan tempat aslinya, for me its looks like single peolpe waiting for a romance..hey shit happens,right?

Unfinish Budha atau patung Bundha yang belum selesai, begitu nama yang tertera di petunjuknya. Sesuai namanya patung ini memang terlihat seperti belum selesai, banyak versi yang mencoba menjelaskan kenapa patung ini terlihat lebih buruk dari patung yang lain. Versi favorit saya adalah yang menyebutkan jika patung ini bukan belum selesai tapi memang tidak akan pernah bisa diselesaikan. Alkisah, ketika pengerjaan Borobudur hampir selesai para pekerjanya ingin membuat karya yang monumental di bagian puncaknya. Dengan stupa yang paling besar, patung Budha pengisinya juga harus paling istimewa dan SEMPURNA. Setelah sekian lama mencoba memahat patung tersebut, akhirnya diputuskan untuk memasang patung tersebut sebagaimana yang bisa kita lihat saat ini. Bukan karena waktu yang sudah mendesak, tapi karena akhirnya konsep kesempurnaan tidak bisa dicetak kedalam sebuah patung. Konsep tersebut terlalu besar, terlalu absurb, dan jujur saja bukan untuk manusia. Bahkan kita mengenal istilah “Kesempurnaan hanya milik Tuhan”
Unfinish Budha, disini saya punya rahasia :)

Maka dipasanglah patung tersebut, untuk kemudian mengingatkan betapa apapun yang telah menusia buat dan lakukan pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Tuhan. Bahkan setelah kita pada akhirnya berhasil naik tingkat dari Kamadhatu ke Rupadhatu atau bahkan berhasil memahami Arupadhatu sekalipun, kita tidak pernah sempurna. Kalo para leluhur kita yang sanggup membangun mahakarya Borobudur saja tidak berani menganggap diri mereka sendiri sempurna apa lagi saya, yang membuat rumah kardus saja belum becus.

Sebenarnya yang menarik dari patung tersebut bukan hanya itu, masih menurut Pak Wandi, patung tersebut sering digunakan untuk memanjatkan doa. Saya garis bawahi digunakan untuk memanjatkan doa itu berarti digunakan sebagai sarana berdoa kepada Tuhan, sama seperti masjid, gereja, atau sinagog. Hanya orang pekak yang menganggap ketika kita berdoa di masjid berarti kita menyembah masjid tersebut. Sarana dan tujuan itu berbeda sangat 

Orang yang datang bermacam-macam, ada yang berdoa untuk kesembuhan penyakit, ada yang berdoa untuk kesembuhan ekonomi namun mitos yang paling menggoda untuk saya coba adalah jika kita memandikan patung tersebut dengan air yang disediakan disampingnya “Maka bagi siapa saja yang belum bertemu jodoh akan dimudahkan jodohnya”. Sebagai penganut asas ‘selama tidak rugi dicoba saja’ saya langsung beranjak dan memandikan patung tersebut diiringi Pak Wandi yang tertawa terbahak-bahak. Siapa tahu!..ya siapa tahu..

Perjalan saya hari itu sungguh menyenangkan, saya sunguh tidak akan pernah melupakan patung-patung Budha yang menjerit meratapi kepala mereka yang dijarah, relief-relief laksana buku cerita yang menunggu dibaca, patung unfinish Budha yang bisa mengajarkan kita tentang kesempurnaa. Dan tentu saja teman baru saya, Pak Wandi.

Terimakasih lain waktu saya akan datang lagi