Minggu, 06 April 2014

Mengintip Bukit Batu, Cagar Biosfer Yang Terkepung



“Kak jalannya cepatlah sikit, sudah petang nanti kita kemalaman di hutan” teriak Bang Ismail, salah satu penduduk yang menjadi pemandu jalanku. Hari ini sudah hampir tiga hari aku terseok-seok menerobos Hutan Bukit Batu yang rimbun. Tergesa-gesa aku menyusul Bang Ismail, hari mulai gelap dan hujan yang turun sejak beberapa jam yang lalu membuat akar pohon yang kuinjak menjadi lebih licin. Aku sebenarnya sudah lelah, ingin rasanya berhenti sebentar sekedar meluruskan kaki tapi bahkan untuk sekedar berdiripun kami sudah kehabisan waktu.
Bukit Batu tak seperti kebanyakan hutan yang pernah aku kunjungi di Jawa, hutan ini termasuk  jenis hutan gambut. Kelembabap di hutan ini sangat tinggi, bahkan di beberapa tempat tampak genangan air yang cukup dalam. Airnya di sini tak jernih ataupun coklat, tetapi cenderung berwarna merah dan gelap. Lantai hutannya penuh seresah dan akar pohon yang centang perentang, tak nampak tanah sedikitpun, menurut seorang ahli ilmu tanah ketebalan gambut di daerah ini dapat mencapai lebih dari 20 meter.
Tumbuhan yang ada sangat beragam, dari mulai pohon-pohon beraneka jenis berukuran ekstra besar, salak hutan dengan durinya yang tajam hingga beragam kantung semar lengkap dengan berbagai jenis satwa yang hidup di dalamnya. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem Hutan Bukit Batu memang telah diakui oleh banyak pihak. Kawasan yang terletak di Provinsi Riau ini tidak hanya ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa melainkan juga merupakan satu dari tujuh daerah cagar biosfer yang ada di Indonesia. Hebat bukan?
Salah satu jenis kantung semar yang "berserak" di lantai hutan
Nafasku masih tersengal-sengal ketika akhirnya tutupan pohon mulai jarang dan sebuah anak sungai menampakkan wujudnya. Sungai  selebar sepuluh meter itu merupakan titik awal perjalanan kami, yang sekaligus merupakan titik penjemputan. Aku menghela nafas lega, tak kupedulikan hujan yang masih turun rintik-rintik. Segera kuselonjorkan kakiku sambil membuka sepatu boot yang sejak tadi pagi melekat di kakiku. Tampak beberapa pacet berjingat-jingat merambat di kaos kaki dan celana ku. Untung tak ada satupun yang sempat masuk ke dalam celana, hewan tak bertulang belakang itu suka iseng masuk melalui celah celana mencari daging terbuka yang dapat dihisap darahnya. Tak mematikan memang tapi siapa tak geli jika menemukan pacet gemuk menempel di paha ketika membuka celana nanti.
“Kak sinilah berteduh jangan duduk-duduk dekat sungai, disambar buaya kau nanti” Bang Ismail memanggilku dengan logat Melayu yang kental. Dia dan Bang Udin, pemanduku yang lain, tampak menggigil duduk berdempetan di bawah pohon beratapkan sebuah jas hujan. Nyaliku ciut juga mendengar kata buaya, apalagi di sini kasus orang di serang buaya masih sering terjadi. Maklumlah sungai seperti ini memang habitat alami untuk Datuk Air, julukan masyarakat setempat untuk buaya air tawar.
“Kapal belum datang kita duduk-duduk tunggu di sini dulu, untung kita sudah keluar dari hutan. Bahaya nian di hutan malam-malam, kakak sih jalannya lamban macam nenek-nenek. Besok cepat sikitlah biar tak kesorean kita.” Ujarnya. Aku hanya bisa tersenyum masam, bagaimana mau jalan cepat kalau tiap langkah harus dipilih dengan cermat, batang mana yang harus dipijak, belum lagi ditambah sepatu bootku yang sering lepas ketika terperosok ke dalam lubang. 
“Ya gimana lagi bang, target kita sepuluh plot per hari. Hari ini kita hanya dapat tujuh plot itupun pulangnya abang masih harus sambil seret saya supaya cepat. Ini juga sudah diusahakan.“ Jawabku membela diri.
“Gila, hampir lima kilo kita jalan hari ini. Bukan jalan landai, masih harus buka jalan pakai parang. Cari apo kalian ini?” kata Bang Ismail bersungut-sungut.
“Cari Harimau.” Jawabku sekenanya
“Hush! Jangan panggil sembarangan begitu! datang nanti dia.” Bang Ismail berbisik. Kepalanya refleks menengok ke kanan dan ke kiri, matanya tajam menatap semak-semak di batas hutan seakan khawatir ucapanku terdengar hingga di ujung. Suasana mendadak mencekam.
Keheningan pecah ketika terdengan deru perahu di kejauhan. Jemputan kami akhirnya datang juga, perahu inilah yang akan membawa kami menuju Desa Tamiang, desa terdekat dengan kawasan Hutan Bukit Batu. Buru-buru kami naik ke atas perahu, berhimpitan sambil mencari posisi paling nyaman untuk satu setengah jam ke depan. Tak kami hiraukan hujan yang turun semakin lebat. Bajuku sudah kuyup sampai ke dalam-dalamnya, jas hujan yang kupakai sudah berubah fungsi bukan lagi sebagai pelindung  hujan tapi lebih sebagai penghangat badan.
“Kakak ni tak bisa jaga mulut, janganlah panggil-panggil nama Datuk kalau sedang di dalam. Sebut saja si Aum atau si Belang. Aduh, kalau dia tiba-tiba datang matilah kita. Senapan tak ada, mau dilawan pakai apa.” Kata Bang Ismail memecah keheningan. Tampaknya dia belum puas memarahiku karena berani menyebut nama Datuk di pinggir sungai tadi.
“Maaf bang, tak tahulah awak ada peraturan macam itu. Abang kasih tahulah apa yang tak boleh diucap di dalam sana. Kalaulah saya tahu mana berani panggil-panggil namanya. Saya ni penelitian bang, bukan uji nyali.” Jawabku.
“Ya sudahlah, besok kalo di dalam hutan jangan sebut namanya panggil saja Datuk. Kalo ketemu tapak atau kotorannya janganlah ribut macam tadi. Kalo mau ambil gambar, cepat sikit tak usah pakai berdiskusi lama-lama. Kalo mau diskusi nanti saja di kampung.” Sambungnya.
Pemandangan di dalam hutan (iya tau fotonya emang burem >.< )
Duh, salah lagi kan! Sebenarnya kekesalan Bang Ismail pada ku berawal dari tadi siang ketika kami sampai di titik ke dua pengambilan plot. Saat itu aku tak sengaja mendengar suara gemuruh, tak keras memang tapi suara dengkuran yang mirip suara mesin perahu itu membuatku penasaran. Ketika aku menanyakan pada Bang Ismail, apakah posisi kami berada terlalu dekat dengan sungai, dia malah membuang muka dan mengatakan jika suara itu adalah suara pesawat terbang. Tak terima dengan jawaban itu aku dan rekan satu tim ku beradu argument sambil bercanda, sementara Bang Ismail dan Bang Udin malah sibuk memukul-mukul batang pohon dengan parang. Semenjak kejadian itu mereka berdua berjalan lebih cepat dan menjadi gusar ketika kami meminta berhenti sekedar untuk mengambil gambar. Kelak kami tahu jika suara menderu itu adalah geram harimau yang berjalan berputar mengelilingi kami, sementara Bang Udin dan Bang Ismail sengaja membuat suara gaduh untuk mengusirnya.
Pernah suatu saat aku menemukan sebuah jejak, bentuknya sangat mirip dengan jejak kucing namun berukuran jauh lebih besar. Aku tentu saja sangat senang, apalagi ketika di sekitar jejak tersebut terdapat juga jejak-jejak lain berbentuk kuku belah. Yang lebih menggembirakan jejak tersebut masih basah. Sepertinya jejak seekor harimau dewasa yang sedang mengikuti babi buruannya.
Ketika kami sedang berdiskusi mengenai kemungkinan tersebut, tiba-tiba Bang Udin menyuruh kami berjalan lebih cepat. Belum sempat kami mengambil gambar jejak itu malah tak sengaja terinjak sepatu. Kami hanya bisa bersungut-sungut melanjutkan perjalanan. Belum lagi ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari, kedua pendampingku itu akan segera menambah kecepatan menjadi dua kali lipat. Tak mereka pedulikan aku yang jatuh terguling di belakang, semakin cepat keluar semakin baik. Jangan sampai kena malam di hutan, itu yang selalu mereka wanti-wanti.
Masyarakat Desa Tamiang sudah tinggal di sekitar Hutan Bukit Batu jauh sebelum area ini ditetapkan sebagai suaka margasatwa. Bukit Batu merupakan tanah leluhur dimana mereka menggantungkan hidup. Pohon sagu dan pokok rotan yang tumbuh liar tidak meminta bayaran ketika dipanen, ikan dan udang bebas dijerat siapa saja. Pohon ditebang untuk rumah dan perahu. Akar dan daun tumbuhan liar diracik menjadi jamu. Bunga-bunga dikumpulkan sebagai salah satu syarat kesembuhan. Manusia saat itu hidup berdampingan dan saling membutuhkan dengan hutan
Masyarakat juga tak asing dengan harimau, bagi mereka harimau adalah bagian dari adat. Tak ada tradisi mereka yang mengusik harimau maupun habitatnya. Mereka menghormati harimau sebagai nenek moyang mereka. Di pihak lain harimau juga tak pernah mengganggu kehidupan masyarakat di sini. Kehidupan dua mahluk tuhan ini tak saling mengusik satu sama lain, jika ada harimau yang menampakkan diri di sekitar pemukiman masyarakat percaya jika itu adalah sebuah isyarat jika sesuatu yang buruk sedang terjadi. Entah wabah penyakit atau penyakit sosial. Masyarakat terbiasa menyebut harimau dengan sebutan Datuk Hutan, gelar datuk yang biasa digunakan untuk menyebut orang dengan starata sosial lebih tinggi itu sengaja disematkan sebagai bentuk penghormatan. Saat berada di dalam kawasan hutan tak ada yang berani menyebut nama harimau sembarangan, mereka percaya hal tersebut akan memanggil harimau untuk datang.
Menurut masyarakat saat ini Bukit Batu telah banyak berubah. Area seluas 21.500ha itu adalah hutan yang tersisa dari ratusan ribu hektar yang telah di bagi-bagi untuk berbagai macam kepentingan. Tanah nenek moyang itu tak lagi milik mereka, perusahaan kayu berdiri mengepung kawasan suaka margasatwa tersebut. Tercatat tak kurang tiga perusahaan besar beroperasi di sana. Kanal-kanal dibangun kemudian sebagai batas kawasan perusahaan dan suaka margasatwa. Hutan dibagi ke dalam kotak-kotak, hutan alam yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan diganti menjadi hutan akasia yang seragam, harimau, beruang, babi hutan dan banyak binatang lain menyelinap ke sudut-sudut hutan yang lebih gelap.
“Kakak lihat parit baru di dalam tadi? Parit itu dibangun baru-baru ini, begitu caranya perusahaan kayu sedikit demi sedikit menambah luas kawasan. Pertama mereka tanam akasia di pinggir-pinggir hutan, dapatlah kira-kira 200 meter lebarnya, mereka bikin parit sebagai batas baru. Begeser terus tiap tahun, lama-lama habislah hutan kita. Coba kalo masyarakat yang ambil kayu sudah di door kita, jangankan kayu ikan di sungai saja bisa jadi perkara.” Berapi-api Bang Udin bercerita, suaranya bergetar ketika bercerita entah kedinginan entah geram.
Cerita mengenai masyarakat yang tak puas dengan pengelolaan hutan memang tak sekali ini  ku dengar. Miris memang ketika masyarakat sekitar hutan ditempatkan sebagai agen yang harus menjaga kelestarian hutan justru menjadi pihak yang terakhir memanfaatkannya. Bukankah mereka yang seharusnya mendapat keuntungan paling besar dari hasil hutan?
Sementara itu kehidupanpun berubah. Penduduk bertambah dari luar daerah membawa adat dan kebiasaan yang sama sekali baru. Sagu tak lagi ditokok karena ternyata beras lebih mudah ditanak, walopun ternyata juga lebih mahal. Obat tak lagi dicari dari dalam hutan karena sekarang semua tersedia dalam bentuk kapsul, meskipun juga masih harus bayar. Dan kayu hanya diukur dari seberapa mahal dia ditukar dengar uang. Biaya hidup semakin tinggi, ditengah terbatasnya lapangan pekerjaan karet dan sawit muncul sebagai idola baru. Dan di mana lagi dapat ditemukan lahan-lahan baru jika tidak dengan cara membuka hutan?
“Dulu waktu saya kecil orang masih takut bertemu buaya atau harimau ketika toreh karet di hutan, sekarang orang lebih takut tak mampu beli pulsa.” Suaranya lirih
Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, pohon-pohon di tepi sungai yang semula indah berubah menjadi bayang-bayang gelap yang menakutkan. Hanya suara deru perahu yang memecah keheningan. Aku meringkuk dalam jas hujanku mencoba mengabaikan dingin, entah mana yang lebih menakutkan harimau yang berjalan mengelilingiku saat di dalam hutan atau kita yang mengepung mereka dengan berbagai macam kepentingan?
Tim Asal Makan Pasti Senang :)

Senin, 28 Januari 2013

Miw dan Teratai

Dulu.. duluuuu sekali saya sempat punya keinginan untuk membuat buku cerita anak-anak. Iya, semacam cerita tentang sekumpulan binatang yang bisa bicara dan ibu peri baik hati :). Jangan salah, justru membuat cerita untuk anak-anak bisa jadi lebih sulit daripada menulis cerita untuk orang dewasa. Ada moral yang harus disampaikan dengan gaya bahasa yang manis dan mudah dicerna. Hasilnya sejak awal saya mencetuskan impian tersebut baru satu karya yang akhirnya saya hasilkan :p

MIW DAN TERATAI


Matahari masih bersinar malu-malu ketika Miw memulai perjalanannya hari itu. Tanah yang dia injak masih basah sisa hujan semalam begitu pula pohon dan rerumputan. Segar sekali rasanya menghirup udara pagi itu. Miw terus berjalan menuju padang ilalang tempat dia berjanji untuk bermain bersama Tipo, kura-kura sahabatnya.Tipo berjanji akan memperlihatkan bunga teratai yang sedang mekar di tengah telaga di padang ilalang. Miw belum pernah melihat bunga teratai jadi dia sangat senang menerima ajakan Tipo.Lagi pula Tipo adalah sahabatnya jadi apapun yang akan mereka lakukan asalkan dikerjakan bersama pasti menyenangkan, pikir Miw.

Miw akhirnya menemukan Tipo sedang duduk di  atas batu di pinggir telaga sambil membaca buku.
"Tipo!!" seru Miw
"Akhirnya kau datang juga, kemarilah! aku sengaja duduk ditempat dimana kau bisa melihat teratai itu dengan jelas." kata Tipo sambil menggeser duduknya.
"Mana teratai itu Tipo? perlihatkan padaku,aku belum pernah melihat teratai seumur hidupku. Apakah mereka secantik mawar yang tumbuh di pekarangan bibi kelinci?" seru Miw sembari memanjat ke atas batu.
“Itu di sebelah sana tepat disebelah kanan batu di tengah telaga itu. Tidakkah kau lihat bunga teratai yang berwarna merah muda  serta daunnya yang hijau dan  berukuran lebar?” jawab Tipo sambil berusaha menunjuk dengan jarinya.
“Iya aku melihatnya!! Wow itu indah sekali,bagaimana bunga seindah itu bisa tumbuh ditengah telaga? Bisakah aku menanamnya di halaman rumahku Tipo?” Tanya Miw penuh harap.
“ Kau tidak bisa menanamnya di halaman Miw, teratai adalah tanaman air dia hanya bisa tumbuh di air. Jadi kecuali kau memiliki kolam di halaman rumahmu kau tidak bisa memeliharanya.” Jawab Tipo sambil tertawa.
Miw terkejut mendengar penjelasan Tipo. Dia tidak tahu jika teratai hanya tumbuh di air dan dia tidak mempunyai kolam di halaman rumahnya, jadi dia tidak bisa memelihara teratai dirumah. Padahal teratai itu begitu indah, pikir Miw.
“Sayang sekali, padahal aku ingin memperlihatkannya pada yang lain.” Miw tampak sangat sedih ketika mengatakannya.
“Kalau begitu biar aku ambilkan untukmu!” kata Tipo sambil melemparkan dirinya ke air dan berenang ke arah teratai itu.

Tidak seperti Miw, Tipo sangat pandai berenang. Gerakannya tampak anggun ketika meluncur di air dan tidak seperti ketika berjalan di darat, Tipo meluncur sangat cepat. Suatu saat aku juga akan berenang seperti itu, pikir Miw.
Tak berapa lama kemudian Tipo datang sambil menarik teratai itu ke tepian. Tapi entah mengapa Tipo terlihat sedih.
“Wah kau berhasil Tipo, lihat cantik sekali bunga ini.” Seru Miw sambil membelai kelopaknya.
“Iya,tapi..” Tipo tiba-tiba menghentikan ucapannya.
“Kenapa? Kau terlihat sedih,apakah bunga ini tidak cukup cantik Tipo?” Tanya Miw.
“Bukan Miw, bunga ini sangat cantik. Tapi jika kita memetik atau membawanya pulang  maka hanya kita yang bisa melihat kecantikannya, tidakkah kau merasa sayang. Bagaimana jika ada hewan lain yang juga ingin melihatnya dan mereka sengaja datang dari jauh. Mereka pasti sangat sedih jika tak bisa menemukannya lagi. Aku sedih karena aku sudah terlanjur berjanji untuk memetiknya untukmu dan kau pasti sedih jika aku mengingkari janjiku.” jawab Tipo sambil menunduk.

Pada awalnya Miw hanya ingin melihat bunga itu dari dekat dan menanamnya di halaman rumah agar bisa melihatnya kapan saja. Dia lupa jika mungkin saja ada hewan lain yang juga ingin melihatnya. Sangat tidak adil jika dia memiliki keindahan bunga itu untuk dirinya sendiri, bukankan sesuatu itu akan lebih indah jika dibagi. Ah..Miw jadi malu sendiri.
“Tipo maafkan aku, lupakan saja permintaanku yang tadi tolong kembalikan bunga itu ke tempatnya semula. Jika aku ingin melihatnya lagi maukah kau menemaniku?”Tanya Miw.
“Tentu akan menemanimu kapanpun kau mau.” Seru Tipo riang.
“Sebagai gantinya maukah kau mengajariku berenang Tipo? Aku ingin bisa melucur sepertimu dan melihat teratai itu dari dekat!” Tanya Miw.
“Hahaha kalo kau ingin berenang secepat aku sebaiknya kita  mulai mencari tempurung yang cocok untukmu” canda Tipo.

Siang itu Miw mendapat pelajaran yang sangat berharga, bukan hanya tentang indahnya bunga teratai tapi juga pelajaran jika kita tidak boleh bersikap egois dan mementingkan keinginan kita sendiri. Mungkin saja ketika Miw bersikeras membawa bunga teratai itu pulang, bunga itu hanya akan mati dan  membuat semua orang sedih. Dengan membiarkan bunga itu di tempatnya Miw telah memberi kesempatan padanya untuk hidup dan member kesempatan pada dunia untuk menikmati kecantikannya. Ah..Miw senang sekali memikirkan itu.

The end
Sekian
Terimakasih :)

Kamis, 17 Januari 2013

Sa pu hutan mari kitorang jaga sama-sama.



Hari masih gelap ketika dua teman saya membangunkan dan menyeret saya meninggalkan pondok yang sudah beberapa hari ini menjadi rumah kami. Udara pantai yang dingin menusuk melalui celah-celah jaket yang dengan susah payah saya rapatkan sementara mata saya mencoba menyesuaikan dengan sorot cahaya samar-samar yang menunggu di ujung dermaga.
Su bangun kalian?” tanya suara itu ramah.
“Iya bapak, dingin sekali e disini kalo pagi” jawab saya sambil menguap.
“Hahaha, sebentar ya kita tunggu tamu dulu baru kita berangkat” sekali lagi suara itu berseru.
Tak berapa lama kemudian sebuah speedboat merapat dan menurunkan dua wisatawan domestik. Setelah acara penyambutan yang dilakukan dengan singkat dan berbisik-bisik rombongan kecil kamipun berjalan beriringan meninggalkan dermaga menuju sebuah bukit kecil yang berada tepat di belakang pemukiman.
Perjalanan menuju ‘tempat yang dijanjikan’ itu tak kurang memakan waktu 45 menit dengan medan yang lumayan mendaki, untungnya pagi itu meski berawan namun tidak turun hujan. Cuaca yang menurut pak Yasaya Mayor, lelaki yang menunggu kami di ujung dermaga tadi, ideal untuk melakukan pengamatan. Perjalanan kami berakhir disebuah bangunan dari kayu yang disusun menjadi pondok intai, lengkap dengan tempat duduk, dan atap yang bagian atasnya sengaja dibuat berlubang. Baru saja kami ingin mendaratkan pantat di tempat duduknya, Pak Yasaya melambaikan tangan mengisyaratkan kami untuk mengikutinya. “Sudah yang disana biar turis saja, kalian ikut saya ke tempat lain. Cepat sedikit jalannya dan jangan berisik ya, nanti mereka kabur”, ujarnya sambil bergegas. Kami yang masih terkaget-kaget hanya bisa segera putar halauan dan tergesa-gesa menyusulnya. Gerakannya yang gesit dan langkahnya yang mantap menyadarkan saya betapa bapak tersebut mengenal tiap sudut hutan ini bagaikan halaman rumahnya sendiri. Berbeda dengan saya yang tergagap mengikuti langkahnya, tidak tersangkut duri cendana muda atau terpeleset ranting basah saja sudah syukur.
Tak berapa lama, Pak Yasaya berhenti dan menyuruh kami duduk sambil mengisyaratkan kami agar tak banyak bicara. Sementara matanya mencari-cari di cabang-cabang pohon. Ketika akhirnya senyum diwajahnya mengembang, tangannya menunjuk ke arah sebuah cabang pohon. Mata kami memicing mengikuti arah telunjuknya, seketika kami dibuat takjub. Disanalah  dia, bertengger dengan gagahnya sambil melenggokkan bulunya yang berkilat ditimpa sinar matahari pagi. Cenderawasih, salah satu burung kebanggaan Nusantara. Tak sia-sia tampaknya perjalanan kami pagi-pagi buta tadi. Melihat Cenderawasih di habitat aslinya masih merupakan salah satu hal yang istimewa dalam hidup saya.

Perjumpaan kami dengan salah satu spesies endemik Papua ini tak bisa dilepaskan dari jasa Pak Yasaya Mayor. Beliau adalah pemilik sekaligus pengelola Resort Mambefor. Perkenalan saya dengan beliau bisa dibilang kebetulan.  Penelitian yang saya lakukan mengharuskan saya mengambil data di lokasi yang memiliki tingkat interaksi masyarakat dengan hutan cukup tinggi. Dinas Kehutanan Raja Ampat kemudian menyarankan saya untuk menuju Kampung Sawinggrai, dan mencari seseorang bernama Yasaya Mayor.  
Tak terlalu sulit nampaknya menemukan bapak tiga anak tersebut di kampung ini, selain memang jumlah penduduknya yang sedikit, sosok Pak Yasaya memang dikenal oleh banyak orang. Terlebih jika melibatkan topik hutan dan wisata. Beliau termasuk salah satu orang yang turut merintis jalannya wisata pengamatan cenderawasih di kampung ini. Jenis atraksi wisata yang masih jarang ditemui di kawasan wisata yang hampir seluruhnya bergantung pada keindahan pemandangan bawah air.
Keputusan Pak Yasaya untuk mengembangkan wisata pengamatan Cenderawasih di Kampung Sawinggrai memang bukan tanpa alasan, beliau melihat ada potensi lain yang bisa digali dari kampungnya tersebut selain wisata bawah air. Tak tanggung-tanggung beliau bahkan membabat sendiri jalan setapak yang digunakan untuk pengamatan cenderawasih, membangun pondok pengintaian serta membuat kebun aggrek untuk menambah atraksi wisata. Alhasil selain berhasil mengembangkan jenis wisata baru yang potensial, beliau juga turut berjasa meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan burung cenderawasih. Masyarakat yang selama ini acuh tak acuh dengan keberadaan hutan mulai mengerti perlunya menjaga ekosistem.
Masyarakat pesisir terutama yang berada di daerah kepulauan sering kali memiliki interaksi yang rendah dengan hutan. Hal ini dikarenakan kebutuhan mereka sedikit banyak dicukupi dari laut dan luar pulau. Paradigma ini akhirnya menempatkan hutan sebagai penghasil kayu semata, yang berujung pada maraknya penebangan liar. Padahal ekosistem pulau kecil yang ringkih dan kompleks membutuhkan hutan untuk membantu menyediakan air tanah. Semakin sedikit hutan yang tersisa, kualitas dan kuantitas air tanah juga akan semakin buruk. Dampak ini belum termasuk hilangnya spesies-spesies yang hidup didalamnya serta terganggunya siklus hara. Itulah mengapa pendidikan untuk masyarakat pesisir mengenai konservasi hutan juga perlu dilakukan disamping konservasi laut, bukankah hutan dan laut itu sejatinya berhubungan?
Resort Mambefor yang didirikan sejak tahun 2005 silam juga merupakan satu dari sedikit resort yang dikelola dan dimiliki oleh masyarakat setempat. Mayoritas resort yang beroperasi di kawasan ini, terutama yang menyediakan layanan ekslusif seperti telepon satelit dan pesawat capung, dimiliki dan dikelola oleh pihak asing. Sehingga mayoritas turis yang berkunjung cenderung memilih resort asing tersebut dibandingkan resort milik masyarakat setempat. Hal inilah yang disayangkan karena meskipun merupakan destinasi tujuan wisata dunia, ternyata keterlibatan masyarakat masih sangat minim. Tergerak untuk merubah kondisi tersebut Pak Yasaya mengembangkan wisata cenderawasih di kampungnya hingga menjadi seperti sekarang ini. Meskipun tidak dilengkapi fasilitas ekslusif, bahkan sinyal seluler tidak tersedia disini, namun resort Mambefor mampu menarik wisatawan dengan jenis atraksinya yang unik dan berbeda. Saat ini bahkan banyak wisatawan dari resort lain yang sengaja datang ke Sawinggrai hanya untuk melihat burung cenderawasih dan menggandeng Pak Yasaya sebagai guide. Motivasi yang kuat dan inovasi, itulah kunci kesuksesan beliau.
 
Saya dibuat terpana dengan cerita beliau ketika mengawali sepak terjangnya di bidang wisata. Beliau mengakui menjadi pelaku usaha pariwisata tidak pernah menjadi mimpinya, sebelum membangun resort beliau bekerja serabutan dari menjadi nelayan hingga terlibat pembalakan liar. Baginya saat itu mengumpulkan uang sama mudahnya dengan mengumpulkan kerang di pesisir.
 “Daerah kami kaya, tinggal tangkap, tinggal potong su jadi uang” katanya sambil terkekeh.
“Lalu kenapa bapak berhenti?” tanyaku.
“Karena uang yang didapat dari kerja tak halal cepat sekali habisnya, ludes tak bersisa” kenangnya
“Semakin tua saya juga menyadari kekayaan alam kami ini terbatas, kalo semua saya ambil nanti anak saya makan apa” lanjutnya lirih. Jawaban yang membuat saya tertohok.
                 Awalnya tentu tidak mudah, tak jarang beliau harus berhadapan dengan mantan rekan seprofesinya ketika menyerukan anti pembalakan hutan.                    
“Orang disini keras, pernah sa mo baku hantam sama orang kampung. Kalo kata-kata
su tara didengar sa pukul saja orang itu punya muka” tandasnya sambil menirukan gerakan orang memukul.
Saya yang duduk tepat didepannya hampir terjungkal karena terkejut. Yang dilakukan beliau tentu saja beralasan, beliau menyadari dengan baik hubungan antara kelestarian hutan dan keberadaan burung cenderawasih. Jika ekosistem hutan mengalami kerusakan bukan tidak mungkin burung cenderawasih akan turut hilang dari hutan. Padahal burung cenderawasih adalah ikon Papua yang bisa mendatangkan banyak wisatawan. Dan banyak wisatawan berarti kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, tanpa perlu merusak alam. Meskipun selain itu menurut beliau, banyak yang belum kita ketahui dari hutan.
Dulu ketika transportasi belum bergantung pada minyak,ketika pasar berjarak sehari perjalanan dan pusat kesehatan tidak tersedia di tiap kecamatan hutan menjadi satu-satunya tempat, selain Tuhan, untuk mencari kehidupan. Pohon sagu yang tumbuh liar tidak meminta bayaran ketika dipanen, babi hutan bebas dijerat siapa saja. Akar dan daun tumbuhan liar diracik menjadi jamu. Bunga-bunga dikumpulkan sebagai salah satu syarat kesembuhan. Manusia saat itu hidup berdampingan dan saling membutuhkan dengan hutan. Sampai kemudian kita dikenalkan dengan uang, bahan bakar minyak, dan beras. Sagu tak lagi ditokok karena ternyata beras lebih mudah ditanak, walopun ternyata juga lebih mahal. Obat tak lagi dicari dari dalam hutan karena sekarang semua tersedia dalam bentuk kapsul, meskipun juga masih harus bayar. Dan kayu hanya diukur dari seberapa mahal dia ditukar dengar uang. Hutan mulai ditinggalkan begitu pula kepedulian kita untuk melindunginya.
Sa ini orang hutan nona, meski hidup kitorang dikelilingi laut tara boleh lupa sama nenek moyang. Nenek moyang sa punya ya hutan ini. Sekarang banyak orang cuma bicara uang, mereka lupa kalo uang tara bisa dimakan” lanjutnya.
“Iya pak, mungkin mereka memang selama ini makan uang” jawab saya lirih, beruntung debur ombak menyarukan suara saya.
Yah, bahkan surga pun butuh penjaga agar tak hanya abadi indahnya di foto dan cerita. Dan lelaki yang berjaga di sepotong surga yang jatuh ke bumi itu bernama  Yasaya, Yasaya Mayor.

Selasa, 20 November 2012

Single Trip To Heaven

 


Dulu, dulu sekali saya pernah berkunjung ke Borobudur kalau tidak salah waktu itu saya masih SD. Tidak banyak yang bisa saya pelajari waktu itu, selain berhasil menggagahi bangunan yang merupakan salah satu keajaiban dunia. Kemudian dengan bangga berdiri di puncaknya. Paginya kaki saya bengkak.
Kemarin, saya sekali lagi berkunjung ke tempat tersebut. Sendiri. Karena tujuan saya kali ini memang ziarah, saya pikir tidak perlulah membawa rombongan berbanyak-banyak.Cukuplah bagi saya bisa berjalan santai di lorong-lorongnya, berputar searah jarum jam menikmati lekuk manja reliefnya. Kalopun pada akhirnya saya beruntung bertemu beberapa orang yang dengan sukarela bercerita mengenai fakta yang sangat menarik dari Candi Borobudur beserta filosofi dibaliknya, marilah kita anggap sebagai bonus. Munngkin karena banyak akhirnya tidak bisa dicerna paginya kaki saya tetap bengkak dan kepala saya berat.
Jika diamati Candi Borobudur terdiri dari 3 tingkat, tingkat pertama disebut kamadhatu (ranah hawa nafsu), tingkat ke dua disebut Rupadhatu (ranah berwujud dan tingkat yang terakhir adalah Arupadhatu (ranah tak berwujud). Saya sendiri kali ini tidak berminat untuk menulis banyak mengenai ketiga tingkatan tersebut. Penjelasan untuk pemula dapat dengan mudah ditemukan di wikipedia, dan penjelasan lebih mendalam tentu tidak bisa didapatkan dalam satu kali kunjungan singkat. Bagi saya lebih menarik ketika melihat bagaimana 160 panel cerita Karmawibhangga (relief mengenai kehidupan dunia yang penuh hawa nafsu) terkubur. Beberapa sumber mengatakan penguburan itu disengaja karena relief- relief tersebut menggambarkan adegan yang tidak pantas untuk dipamerkan saat ini karena unsur vulgar yang terkandung di dalamnya. Beberapa mengatakan penutupan dilakukan untuk memperkuat pondasi candi, dikhawatirkan candi akan ambles jika bagian bawahnya tidak diperkuat. Saya sih ambil aman saja, sayang sekali relief itu tidak bisa dipertontonkan. Toh apapun gambarnya relief itu sudah terukir disana dan saya yakin ke-vulgar-an relief tersebut tidak akan melebihi gambar-gambar yang bisa kita unduh di internet saat ini. Ini menjadi seperti membaca buku yang halaman awalnya disobek, maka makna endingnyapun menjadi kurang lengkap.
Ini buku cerita yg paling abadi


Semakin ke atas kita akan berjumpa dengan sejumlah patung budha yang tidak berkepala. Kepala mereka tentu tidak hilang begitu saja, sejak Candi Borobudur kembali ditemukan pada tahun 1814. Bangunan tersebut mengundang banyak perhatian dari seluruh dunia, tak terkecuali para kolektor barang antik. Patung-patung Budha itu pun dipenggal untuk memenuhi permintaan tersebut, illegal tentu saja. Tak hanya itu, pernah pula pemerintah Hindia Belanda dengan sengaja melakukan pemindahtanganan arca dan beberapa relief kepada Raja Thailand. Hanya karena sang raja merasa terkesan dan ingin memiliki benda tersebut. Saat ini barang-barang tersebut dipamerkan di Musium Nasional di Bangkok. Bayangkan kau dipisahkan dari ragamu dengan paksa kemudian dibawa pergi keseberang lautan. Para kolektor tersebut pastilah mendengar kepala Budha itu menangis tiap malam, karena bangsa kita ternyata terlalu sibuk untuk sekedar menangisi penjarahan itu.

Cerita lain yang membuat sedih adalah pemboman yang dilakukan oleh sekelompok muslim beraliran ekstrem, pada 21 Januari 1985. Kejadian ini membuat 9 stupa di tingkat arupadhatu rusak parah dan harus direnovasi. Meskipun pada akhirnya pelaku pemboman tertangkap dan dihukum namun tetap saja ada luka yang tidak bisa disembuhkan di badan sejarah. Saya muslim dan sangat malu dengan kejadian tersebut. Saya baru lahir 4 tahun 3 bulan dan 5 hari setelah kejadian tersebut. Jadi bayangkan, seumur hidup saya meskipun saya mengunjungi Borobudur berkali-kali, yang saya lihat bukan versi asli stupa yang dibangun pada masa Syailendra. Yang bisa saya nikmati hanya replika. Replika stupa dan patung-patung Budha tanpa kepala. 
don't you hear them crying every night?

Puas berkeliling, atau lebih tepatnya letih dan kepanasan, saya turun dan masuk ke museum Kharmawibhangga. Museum tersebut kita bisa melihat foto beberapa potongan relief candi Borobudur, termasuk juga foto-foto pertama yang memperlihatkan kondisi awal Candi Borobudur sebelum pemugaran dan foto paska pemboman. Agak menyesal juga kenapa tadi tidak masuk ke museum dulu baru naik ke atas, penjelasan di sini akan lebih banyak membantu pemahaman di sana

Ketika saya mampir kesana ruangan tersebut kosong, hanya ada satu penjaga yang berjaga disana. Pak Wandi, bapak inilah yang akhirnya berbaik hati menemani saya berkeliling. Kami berhenti di sebuah patung Budha yang secara khusus dipindahkan dari stupa puncak candi Borobudur. Sepintas patung ini seperti patung budha lainnya, lebih jelek malah, karena beberapa bagiannya seperti belum selesai dikerjakan dan terlihat sangat kasar. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan patung tersebut, karena letaknya memang tidak di kawasan bagunan utama. Meskipun begitu menurut saya, ini menurut saya lo, patung ini menyimpan simbolisme yang bahkan membuat konsep mandala dan arsitektur Borobudur terlihat biasa saja. Sekali lagi ini menurut saya lo.
batu yang berjajar ini merupakan baian dari candi yang terlepas dan belum ditemukan tempat aslinya, for me its looks like single peolpe waiting for a romance..hey shit happens,right?

Unfinish Budha atau patung Bundha yang belum selesai, begitu nama yang tertera di petunjuknya. Sesuai namanya patung ini memang terlihat seperti belum selesai, banyak versi yang mencoba menjelaskan kenapa patung ini terlihat lebih buruk dari patung yang lain. Versi favorit saya adalah yang menyebutkan jika patung ini bukan belum selesai tapi memang tidak akan pernah bisa diselesaikan. Alkisah, ketika pengerjaan Borobudur hampir selesai para pekerjanya ingin membuat karya yang monumental di bagian puncaknya. Dengan stupa yang paling besar, patung Budha pengisinya juga harus paling istimewa dan SEMPURNA. Setelah sekian lama mencoba memahat patung tersebut, akhirnya diputuskan untuk memasang patung tersebut sebagaimana yang bisa kita lihat saat ini. Bukan karena waktu yang sudah mendesak, tapi karena akhirnya konsep kesempurnaan tidak bisa dicetak kedalam sebuah patung. Konsep tersebut terlalu besar, terlalu absurb, dan jujur saja bukan untuk manusia. Bahkan kita mengenal istilah “Kesempurnaan hanya milik Tuhan”
Unfinish Budha, disini saya punya rahasia :)

Maka dipasanglah patung tersebut, untuk kemudian mengingatkan betapa apapun yang telah menusia buat dan lakukan pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Tuhan. Bahkan setelah kita pada akhirnya berhasil naik tingkat dari Kamadhatu ke Rupadhatu atau bahkan berhasil memahami Arupadhatu sekalipun, kita tidak pernah sempurna. Kalo para leluhur kita yang sanggup membangun mahakarya Borobudur saja tidak berani menganggap diri mereka sendiri sempurna apa lagi saya, yang membuat rumah kardus saja belum becus.

Sebenarnya yang menarik dari patung tersebut bukan hanya itu, masih menurut Pak Wandi, patung tersebut sering digunakan untuk memanjatkan doa. Saya garis bawahi digunakan untuk memanjatkan doa itu berarti digunakan sebagai sarana berdoa kepada Tuhan, sama seperti masjid, gereja, atau sinagog. Hanya orang pekak yang menganggap ketika kita berdoa di masjid berarti kita menyembah masjid tersebut. Sarana dan tujuan itu berbeda sangat 

Orang yang datang bermacam-macam, ada yang berdoa untuk kesembuhan penyakit, ada yang berdoa untuk kesembuhan ekonomi namun mitos yang paling menggoda untuk saya coba adalah jika kita memandikan patung tersebut dengan air yang disediakan disampingnya “Maka bagi siapa saja yang belum bertemu jodoh akan dimudahkan jodohnya”. Sebagai penganut asas ‘selama tidak rugi dicoba saja’ saya langsung beranjak dan memandikan patung tersebut diiringi Pak Wandi yang tertawa terbahak-bahak. Siapa tahu!..ya siapa tahu..

Perjalan saya hari itu sungguh menyenangkan, saya sunguh tidak akan pernah melupakan patung-patung Budha yang menjerit meratapi kepala mereka yang dijarah, relief-relief laksana buku cerita yang menunggu dibaca, patung unfinish Budha yang bisa mengajarkan kita tentang kesempurnaa. Dan tentu saja teman baru saya, Pak Wandi.

Terimakasih lain waktu saya akan datang lagi