“Kak jalannya cepatlah sikit, sudah petang nanti kita kemalaman
di hutan” teriak Bang Ismail, salah satu penduduk yang menjadi pemandu jalanku.
Hari ini sudah hampir tiga hari aku terseok-seok menerobos Hutan Bukit Batu
yang rimbun. Tergesa-gesa aku menyusul Bang Ismail, hari mulai gelap dan hujan
yang turun sejak beberapa jam yang lalu membuat akar pohon yang kuinjak menjadi
lebih licin. Aku sebenarnya sudah lelah, ingin rasanya berhenti sebentar
sekedar meluruskan kaki tapi bahkan untuk sekedar berdiripun kami sudah
kehabisan waktu.
Bukit Batu tak seperti
kebanyakan hutan yang pernah aku kunjungi di Jawa, hutan ini termasuk jenis
hutan gambut. Kelembabap di hutan ini sangat tinggi, bahkan di beberapa tempat
tampak genangan air yang cukup dalam. Airnya di sini tak jernih ataupun coklat,
tetapi cenderung berwarna merah dan gelap. Lantai hutannya penuh seresah dan
akar pohon yang centang perentang, tak nampak tanah sedikitpun, menurut seorang
ahli ilmu tanah ketebalan gambut di daerah ini dapat mencapai lebih dari 20
meter.
Tumbuhan yang ada
sangat beragam, dari mulai pohon-pohon beraneka jenis berukuran ekstra besar,
salak hutan dengan durinya yang tajam hingga beragam kantung semar lengkap dengan berbagai jenis satwa yang hidup di dalamnya. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem Hutan
Bukit Batu memang telah diakui oleh banyak pihak. Kawasan yang terletak di
Provinsi Riau ini tidak hanya ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa
melainkan juga merupakan satu dari tujuh daerah cagar biosfer yang ada di
Indonesia. Hebat bukan?
Salah satu jenis kantung semar yang "berserak" di lantai hutan |
Nafasku masih
tersengal-sengal ketika akhirnya tutupan pohon mulai jarang dan sebuah anak
sungai menampakkan wujudnya. Sungai selebar sepuluh meter itu merupakan titik awal
perjalanan kami, yang sekaligus merupakan titik penjemputan. Aku menghela nafas
lega, tak kupedulikan hujan yang masih turun rintik-rintik. Segera
kuselonjorkan kakiku sambil membuka sepatu boot yang sejak tadi pagi melekat di
kakiku. Tampak beberapa pacet berjingat-jingat merambat di kaos kaki dan celana
ku. Untung tak ada satupun yang sempat masuk ke dalam celana, hewan tak
bertulang belakang itu suka iseng masuk melalui celah celana mencari daging
terbuka yang dapat dihisap darahnya. Tak mematikan memang tapi siapa tak geli
jika menemukan pacet gemuk menempel di paha ketika membuka celana nanti.
“Kak sinilah berteduh
jangan duduk-duduk dekat sungai, disambar buaya kau nanti” Bang Ismail
memanggilku dengan logat Melayu yang kental. Dia dan Bang Udin, pemanduku yang
lain, tampak menggigil duduk berdempetan di bawah pohon beratapkan sebuah jas
hujan. Nyaliku ciut juga mendengar kata buaya, apalagi di sini kasus orang di
serang buaya masih sering terjadi. Maklumlah sungai seperti ini memang habitat
alami untuk Datuk Air, julukan masyarakat setempat untuk buaya air tawar.
“Kapal belum datang
kita duduk-duduk tunggu di sini dulu, untung kita sudah keluar dari hutan.
Bahaya nian di hutan malam-malam,
kakak sih jalannya lamban macam nenek-nenek. Besok cepat sikitlah biar tak kesorean kita.” Ujarnya. Aku hanya bisa tersenyum
masam, bagaimana mau jalan cepat kalau tiap langkah harus dipilih dengan cermat,
batang mana yang harus dipijak, belum lagi ditambah sepatu bootku yang sering
lepas ketika terperosok ke dalam lubang.
“Ya gimana lagi bang,
target kita sepuluh plot per hari. Hari ini kita hanya dapat tujuh plot itupun
pulangnya abang masih harus sambil seret saya supaya cepat. Ini juga sudah
diusahakan.“ Jawabku membela diri.
“Gila, hampir lima kilo
kita jalan hari ini. Bukan jalan landai, masih harus buka jalan pakai parang.
Cari apo kalian ini?” kata Bang
Ismail bersungut-sungut.
“Cari Harimau.” Jawabku
sekenanya
“Hush! Jangan panggil
sembarangan begitu! datang nanti dia.” Bang Ismail berbisik. Kepalanya refleks
menengok ke kanan dan ke kiri, matanya tajam menatap semak-semak di batas hutan
seakan khawatir ucapanku terdengar hingga di ujung. Suasana mendadak mencekam.
Keheningan pecah ketika
terdengan deru perahu di kejauhan. Jemputan kami akhirnya datang juga, perahu
inilah yang akan membawa kami menuju Desa Tamiang, desa terdekat dengan kawasan
Hutan Bukit Batu. Buru-buru kami naik ke atas perahu, berhimpitan sambil mencari
posisi paling nyaman untuk satu setengah jam ke depan. Tak kami hiraukan hujan
yang turun semakin lebat. Bajuku sudah kuyup sampai ke dalam-dalamnya, jas
hujan yang kupakai sudah berubah fungsi bukan lagi sebagai pelindung hujan tapi lebih sebagai penghangat badan.
“Kakak ni tak bisa jaga
mulut, janganlah panggil-panggil nama Datuk kalau sedang di dalam. Sebut saja
si Aum atau si Belang. Aduh, kalau dia tiba-tiba datang matilah kita. Senapan
tak ada, mau dilawan pakai apa.” Kata Bang Ismail memecah keheningan. Tampaknya
dia belum puas memarahiku karena berani menyebut nama Datuk di pinggir sungai
tadi.
“Maaf bang, tak tahulah
awak ada peraturan macam itu. Abang
kasih tahulah apa yang tak boleh diucap di dalam sana. Kalaulah saya tahu mana
berani panggil-panggil namanya. Saya ni penelitian bang, bukan uji nyali.”
Jawabku.
“Ya sudahlah, besok
kalo di dalam hutan jangan sebut namanya panggil saja Datuk. Kalo ketemu tapak
atau kotorannya janganlah ribut macam tadi. Kalo mau ambil gambar, cepat sikit tak usah pakai berdiskusi
lama-lama. Kalo mau diskusi nanti saja di kampung.” Sambungnya.
Pemandangan di dalam hutan (iya tau fotonya emang burem >.< ) |
Duh, salah lagi kan! Sebenarnya
kekesalan Bang Ismail pada ku berawal dari tadi siang ketika kami sampai di
titik ke dua pengambilan plot. Saat itu aku tak sengaja mendengar suara
gemuruh, tak keras memang tapi suara dengkuran yang mirip suara mesin perahu
itu membuatku penasaran. Ketika aku menanyakan pada Bang Ismail, apakah posisi
kami berada terlalu dekat dengan sungai, dia malah membuang muka dan mengatakan
jika suara itu adalah suara pesawat terbang. Tak terima dengan jawaban itu aku
dan rekan satu tim ku beradu argument sambil bercanda, sementara Bang Ismail
dan Bang Udin malah sibuk memukul-mukul batang pohon dengan parang. Semenjak
kejadian itu mereka berdua berjalan lebih cepat dan menjadi gusar ketika kami
meminta berhenti sekedar untuk mengambil gambar. Kelak kami tahu jika suara
menderu itu adalah geram harimau yang berjalan berputar mengelilingi kami,
sementara Bang Udin dan Bang Ismail sengaja membuat suara gaduh untuk
mengusirnya.
Pernah suatu saat aku
menemukan sebuah jejak, bentuknya sangat mirip dengan jejak kucing namun
berukuran jauh lebih besar. Aku tentu saja sangat senang, apalagi ketika di
sekitar jejak tersebut terdapat juga jejak-jejak lain berbentuk kuku belah. Yang
lebih menggembirakan jejak tersebut masih basah. Sepertinya jejak seekor
harimau dewasa yang sedang mengikuti babi buruannya.
Ketika kami sedang
berdiskusi mengenai kemungkinan tersebut, tiba-tiba Bang Udin menyuruh kami
berjalan lebih cepat. Belum sempat kami mengambil gambar jejak itu malah tak
sengaja terinjak sepatu. Kami hanya bisa bersungut-sungut melanjutkan perjalanan.
Belum lagi ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari, kedua
pendampingku itu akan segera menambah kecepatan menjadi dua kali lipat. Tak
mereka pedulikan aku yang jatuh terguling di belakang, semakin cepat keluar
semakin baik. Jangan sampai kena malam di hutan, itu yang selalu mereka
wanti-wanti.
Masyarakat Desa Tamiang
sudah tinggal di sekitar Hutan Bukit Batu jauh sebelum area ini ditetapkan
sebagai suaka margasatwa. Bukit Batu merupakan tanah leluhur dimana mereka menggantungkan
hidup. Pohon sagu dan pokok rotan yang tumbuh liar tidak meminta bayaran ketika
dipanen, ikan dan udang bebas dijerat siapa saja. Pohon ditebang untuk rumah
dan perahu. Akar dan daun tumbuhan liar diracik menjadi jamu. Bunga-bunga
dikumpulkan sebagai salah satu syarat kesembuhan. Manusia saat itu hidup
berdampingan dan saling membutuhkan dengan hutan
Masyarakat juga tak
asing dengan harimau, bagi mereka harimau adalah bagian dari adat. Tak ada
tradisi mereka yang mengusik harimau maupun habitatnya. Mereka menghormati
harimau sebagai nenek moyang mereka. Di pihak lain harimau juga tak pernah
mengganggu kehidupan masyarakat di sini. Kehidupan dua mahluk tuhan ini tak
saling mengusik satu sama lain, jika ada harimau yang menampakkan diri di
sekitar pemukiman masyarakat percaya jika itu adalah sebuah isyarat jika
sesuatu yang buruk sedang terjadi. Entah wabah penyakit atau penyakit sosial.
Masyarakat terbiasa menyebut harimau dengan sebutan Datuk Hutan, gelar datuk
yang biasa digunakan untuk menyebut orang dengan starata sosial lebih tinggi
itu sengaja disematkan sebagai bentuk penghormatan. Saat berada di dalam
kawasan hutan tak ada yang berani menyebut nama harimau sembarangan, mereka
percaya hal tersebut akan memanggil harimau untuk datang.
Menurut masyarakat saat
ini Bukit Batu telah banyak berubah. Area seluas 21.500ha itu adalah hutan yang
tersisa dari ratusan ribu hektar yang telah di bagi-bagi untuk berbagai macam
kepentingan. Tanah nenek moyang itu tak lagi milik mereka, perusahaan kayu
berdiri mengepung kawasan suaka margasatwa tersebut. Tercatat tak kurang tiga
perusahaan besar beroperasi di sana. Kanal-kanal dibangun kemudian sebagai
batas kawasan perusahaan dan suaka margasatwa. Hutan dibagi ke dalam
kotak-kotak, hutan alam yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan diganti
menjadi hutan akasia yang seragam, harimau, beruang, babi hutan dan banyak
binatang lain menyelinap ke sudut-sudut hutan yang lebih gelap.
“Kakak lihat parit baru
di dalam tadi? Parit itu dibangun baru-baru ini, begitu caranya perusahaan kayu
sedikit demi sedikit menambah luas kawasan. Pertama mereka tanam akasia di
pinggir-pinggir hutan, dapatlah kira-kira 200 meter lebarnya, mereka bikin
parit sebagai batas baru. Begeser terus tiap tahun, lama-lama habislah hutan
kita. Coba kalo masyarakat yang ambil kayu sudah di door kita, jangankan kayu
ikan di sungai saja bisa jadi perkara.” Berapi-api Bang Udin bercerita, suaranya
bergetar ketika bercerita entah kedinginan entah geram.
Cerita mengenai
masyarakat yang tak puas dengan pengelolaan hutan memang tak sekali ini ku dengar. Miris memang ketika masyarakat
sekitar hutan ditempatkan sebagai agen yang harus menjaga kelestarian hutan
justru menjadi pihak yang terakhir memanfaatkannya. Bukankah mereka yang
seharusnya mendapat keuntungan paling besar dari hasil hutan?
Sementara itu kehidupanpun
berubah. Penduduk bertambah dari luar daerah membawa adat dan kebiasaan yang
sama sekali baru. Sagu tak lagi ditokok karena ternyata beras lebih
mudah ditanak, walopun ternyata juga lebih mahal. Obat tak lagi dicari dari
dalam hutan karena sekarang semua tersedia dalam bentuk kapsul, meskipun juga
masih harus bayar. Dan kayu hanya diukur dari seberapa mahal dia ditukar dengar
uang. Biaya hidup semakin tinggi, ditengah terbatasnya lapangan pekerjaan karet
dan sawit muncul sebagai idola baru. Dan di mana lagi dapat ditemukan
lahan-lahan baru jika tidak dengan cara membuka hutan?
“Dulu waktu saya kecil
orang masih takut bertemu buaya atau harimau ketika toreh karet di hutan,
sekarang orang lebih takut tak mampu beli pulsa.” Suaranya lirih
Matahari sudah
tenggelam sepenuhnya, pohon-pohon di tepi sungai yang semula indah berubah
menjadi bayang-bayang gelap yang menakutkan. Hanya suara deru perahu yang
memecah keheningan. Aku meringkuk dalam jas hujanku mencoba mengabaikan dingin,
entah mana yang lebih menakutkan harimau yang berjalan mengelilingiku saat di
dalam hutan atau kita yang mengepung mereka dengan berbagai macam kepentingan?
Tim Asal Makan Pasti Senang :) |