Lihatlah kapal kalian telah datang..
Siang itu aku
memandang kalian yang ramai bercakap tentang perjalanan pulang, bercanda
tentang kulit yang menghitam dan banyaknya barang bawaan. Terbayang di pelupuk
kalian keluarga yang akan menyambut dengan bangga, anak-anak mereka yang pulang
dari pulau seberang. Membayangkan hari raya Idul Fitri yang sebentar lagi
datang. Kalian semua berharap kapal itu segera datang. Perjalanan ini memang
menyenangkan tapi selalu kita rindu untuk pulang.
Siang itu aku
berharap adalah bagian dari kalian, ya berharap…karena aku seperti yang kalian
juga tahu tidak pulang hari ini. KKN kita telah usai seharusnya kita
bersama-sama mengangkat koper dan pulang, tapi aku punya rencana yang sedikit
berbeda. Aku memilih tinggal lebih lama, bersikeras mengambil data untuk
skripsiku di tempat ini. Dan baru akan pulang setelah Lebaran.
Perpisahan
di dermaga itu berlangsung cepat, kita saling melambai melepas kepergian. Kita
memulai perjalanan ini dengan cara yang sama dan mengakhirinya dengan jalan
yang berbeda. Selamat jalan kawan, semoga selamat sampai tujuan.
Setelah ini hanya ada kita bertiga..
Aku tidak tinggal
sendirian, masih tersisa dua orang teman yang bersedia terdampar di tempat ini
lebih lama. Meskipun tidak pernah aku ungkapkan, sebenarnya keberadaan mereka
sangat penting. Mereka lebih dari sekedar tukang angkat barang, tukang ambil
data, tukang masak, tukang cerita, tukang cuci baju, tukang basa-basi maupun
tukang pukul. Sejauh ini mereka adalah sahabat dan teman perjalanan yang
menyenangkan, tentu saja tidak termasuk beberapa kasus spesial dimana mereka
terkadang bertingkah sangat menyebalkan. Kedua manusia beruntung itu adalah
Radityo Donipawoko dan Muhammad Hafizt.
Segera
setelah hanya tinggal kami bertiga, kamipun menyusun rencana untuk segera
menuju lokasi penelitian, yaitu Desa Sawinggrai. Desa itu terletak tidak jauh
dari Ibukota Kecamatan, Yanbekwan. Dia terletak tepat di depannya, hanya saja
terbatas selat sepanjang 30 menit perjalanan menggunakan kapal motor 40 PK. Hari itu selepas kalian pergi, adalah hari
dimana kami sibuk berbelanja kebutuhan pangan dan mencari tumpangan kapal menuju
Sawinggrai. menjadi luar biasa sulit karena entah mengapa ketersediaan bahan
bakar minyak sulit didapat di Waisai. Kapal paling cepat yang bisa kami
tumpangi baru berangkat esok hari, yang artinya kami harus melewatkan malam
sekali lagi di Waisai.
Rumah
itu tiba-tiba menjadi sepi, apalagi di malam hari. Dan terimakasih untuk semua
cerita menyeramkan yang kalian tinggalkan. Malam itu aku tidak mau tidur
sendiri.
Sawinggrai, here we come..
Perjalanan dari
Waisai menuju Distrik Meos Mansuar bukan hal baru bagiku, tapi menggunakan
kapal kecil bertenaga 20 PK jelas berbeda. Kapal yang kami tumpangi milik Bapak
Abdul Hadi, warga Yanbekwan, yang kemudian disewa oleh Bapak Mantri. Sebenarnya
kapal itu hanya akan berlabuh di Yanbekwan tapi kami meminta tolong untuk
sekalian saja diantar ke Sawinggrai. Karena biasa menggunakan kapal bertenaga
40 PK perjalanan kali itu terasa sangat lama, semua seakan berjalan dalam gerak
lambat. Laut biru..ombak..laut biru..ombak begitu berulang-ulang sampai mual
perutku dibuatnya.
Sesampai di Saonek
tiba-tiba laju kapal menjadi pelan, sebenarnya aku tak terlalu menyadari sampai
Pak Abdul menyatakan jika kami kehabisan minyak. Kami ditengah laut, terombang
ambing dan kehabisan minyak. Tidak terdengar menyenangkan. Pak Hadi mencoba meminjam
minyak kepada kapal yang kebetulan melintas, tapi karena ketersediaan minyak di
Waisai saat itu langka dan minyak merupakan benda berharga di sini, maka usaha
itu sia-sia belaka. Menyadari betapa kritisnya keadaan saat itu Pak Abdul
segera merapatkan kapalnya ke Saonek. Ampun, panasnya siang itu..setelah
terpanggang matahari di lautan masih kami harus berputar-putar di Saonek
mencari minyak. Beruntungnya ketika ada seorang pemilik kios yang mau
memberikan sedikit minyak . Tragedi ini sedikit banyak menyadarkan kami jika
ketergantungan terhadap minyak di sini sangat tinggi. Tanpanya mereka bahkan
tak bisa beranjak kemana-mana. Suatu saat nanti ketika sering terdengar berita
kelangkaan BBM maupun ancaman harga BBM yang merangkak naik, aku akan selalu ingat
peristiwa siang itu. Berharap kondisi di sana tidak menjadi lebih buruk.
Kawan, akhirnya
kami sampai di Sawinggrai. Disambut dengan tatapan heran dari penduduk
setempat, mungkin mereka berpikir kami adalah turis. Tapi, kalo dipikir-pikir
mengingat bawaan kami yang seperti orang mudik itu, mana ada turis yang merapat
sambil menggotong-gotong karung beras. Ralat. Hanya dua teman saya yang
tergopoh-gopoh mengangkat perbekalan sementara aku melompat ke dermaga dan
beranjak menemui kepala kampung, dengan lincah. Inilah salah satu saat dimana
aku sebenarnya sangat menikmati melihat mereka perkasa mengangkat semua
logistik tim.
Dengan segala
kebaikannya bapak kepala kampung memberikan kami izin untuk tinggal, sekaligus
sebuah pondok informasi untuk hunian sementara. Pondok itu terletak tak jauh
dari dermaga, berdinding kayu, berukuran kurang lebih 4x4 meter yang terdiri
dari 2 kamar dan sebuah dapur. Di tempat itulah kemudian kami tinggal dan
melakukan hal-hal bodoh.
Kondisi Sawinggrai
berbeda dengan Sauwandarek, disini sumur air tawar berada di luar kampung yang
membuat air tawar menjadi sesuatu yang berharga dan harus dihemat. Tidak ada
sinyal, kecuali di sebuah tempat di sudut dermaga yang entah benar atau tidak
karena sampai kami pulang kami tak pernah berhasil menemukan letak tempat
tersebut, dan tidak ada listrik waktu malam di pondok kami. Kecuali jika
penduduk kampung sedang menyalakan generator untuk keperluan kampung. Untuk
masalah ini kami sangat berterimakasih kepada Bapak Yasaya Mayor pemilik resort
Mambefor yang memberikan ijin bagi kami untuk memanfaatkan listrik di
tempatnya.
Penelitian yang
kami lakukan menuntut banyak interaksi dan wawancara dengan masyarakat. Pengalaman
dua bulan KKN di Sauwandarek membuat kami sedikit banyak paham tentang kondisi
sosial masyarakat di sana yang tentu saja sangat membantu. Tidak banyak
kesulitan yang kami alami, namun hal-hal konyol itu memang selalu tidak dapat
dihindari. Seperti, ketika kami harus mencari data mengenai hutan adat dan
sejarah Raja Ampat. Tidak banyak orang yang tahu mengenai hal tersebut, oleh
karena itu kami disarankan menemui seorang sesepuh yang tinggal di kampung
sebelah. Kampung itu letaknya tidak jauh, hanya kurang lebih 40 menit jalan
kaki, melewati jalan setapak yang sepi di pinggir pantai, hamparan mangrove,
dan sebuah kompleks pemakaman. Tidak ada yang salah, jika saja kami tidak harus
menemui beliau pukul 8 malam. Ya, pukul 8 malam.
Maka malam itu
penjadi malam terpanjang dalam sejarah perjalanan kami. Berbekal senter dan jaket
kami berjalan berimpit-impitan sambil bercakap-cakap mengurangi ketegangan.
Sepanjang perjalanan aku tentu saja mencari tempat paling menguntungkan, yaitu
berada di tengah-tengah. Sambil
berpegangan pada ujung jaket mereka. Bukan, ini bukan salah satu saat
dimana kami sedang akur, ini salah satu saat dimana aku tidak mau ambil resiko
mereka tiba-tiba berlari meninggalkanku saat kami melintasi kuburan.
Membayangkan kuburan itu di malam hari saja sudah membuatku sangat ngeri apa
lagi kalo harus melewatinya sendiri.
Wawancara malam
itu berjalan menegangkan. Kami berada di bangunan kantor pemerintah yang masih
dalam tahap pembangunan dengan sebuah meja besar teronggok ditengahnya dan
beberapa buah kursi. Lengkap dengan beberapa kayu yang masih malang melintang
dan kaleng cat berserakan di sekitarnya. Tidak ada listrik, hanya cahaya lilin
yang bergoyang seirama debur ombak di luar sana. Sementara angin malam yang
usil terus saja mencoba menelusup ke dalam jaket yang kukenakan. Dan lebih dari
semua horror screen yang kami lalui
adalah pembicaraan mengenai Raja Ampat di masa lalu, lengkap dengan cerita
mengenai roh-roh halus dan para hantu penunggu pulau. Apa kataku, cerita horor
yang bagus selaku ditunjang dengan setting yang tidak setengah-setengah. Kurang
lebih pukul sebelas wawancara itu usai sudah. Dan ini adalah saat dimana aku
bersedia menukar semua logistik yang aku miliki untuk mendapat tawaran menginap
semalam, yang akhirnya tidak pernah kami dapatkan.
Malam masih remang-remang, angin masih bertiup
tertahan, dan sepanjang perjalanan aku mencoba mati-matian menahan langkah kaki
untuk tidak berlari ketakutan setiap terdengar bunyi burung atau daun jatuh.
Atau aku hanya akan mendapati diriku berada di depan, sendirian.
Hari Raya tanpa ketupat opor dan gema takbir
Sebagai
orang yang berasal dari Jawa menjadi
muslim adalah juga menjadi mayoritas. Bulan Ramadhan akan berarti sirine yang
meraung-raung ketika azan Magrib tiba, kentongan bertalu-talu saat sahur, dan
jamaah yang berbondong-bondong untuk tarawih. Kemudian Idul Fitri adalah pesta
opor ayam yang diiringi orchestra suara takbir. Tapi itu di Jawa, kawan bukan
disini.
Di
sini ketika kami adalah minoritas, karena hanya ada satu keluarga muslim lain
di desa ini, maka malam menjelang Idul Fitri adalah malam yang sepi. Dalam arti
kiasan dan sebenarnya. Setelah berbuka kami memutuskan membuang kesepian ini
dengan menghabiskan malam di resort Pak Yasaya, sekedar menghindari pondok kami
yang gelap. Di sana sambil menatap laut yang kelam anganku melayang. Melayang
pulang. Malam itu sejenak, setelah sekian lama kutepis-tepis kubiarkan rinduku melayang
jauh, terombang-ambing bersama arus lautan, melewati pulau-pulau yang berjajar,
kemudian terdampar di Parang Tritis. Dari Parang Tritis biarlah rinduku naik
angkot, berganti beberapa kali hingga sampai dia di ujung gang rumahku. Biarkan
dia berjalan perlahan sampai dia bertemu rumah bercat coklat, menembus lubang
kunci dan menikmati kehangatan dibaliknya. Malam itu aku tenggelam pada hal
paling klise yang bisa dialami oleh cucu Adam paling tolol sekalipun, aku rindu
keluargaku.
Ditengah
badai melankolisme yang melanda akhirnya kami bertiga memutuskan membuat ucapan
selamat lebaran dengan menggunakan handycamp,
yang kami tahu tidak akan bisa kami kirimkan ke siapapun tepat waktu. Sebuah
rekaman permintaan maaf untuk masing-masing keluarga Havizt di Riau, keluarga
Doni di Madiun, dan keluargaku di Jogja karena lebaran tahun ini kursi kami di
rumah tak terisi.
Paginya
kami sengaja bangun jauh lebih awal karena kami telah meminta untuk diantar ke
Waisai, agar bisa ikut shalat ied. Namun yang ditunggu tak kunjung tiba dan
matahari telah tinggi. Bisa dipastikan jika berangkat sekarangpun bisa
dipastikan kami tidak bisa tiba disana tepat waktu. Usut punya usut ternyata
kami mengalami perbedaan pemahaman karena latar belakang budaya yang berbeda.
Aku dan Doni yang notabenya adalah Jawa tulen serta Hafizt pemuda melayu rantau
merasa tidak enak hati dan tidak cukup sopan untuk mengetuk pintu rumah orang
lain di pagi buta, apalagi kami bahkan tidak mendengar tanda-tanda keberadaan
orang didalamnya. Maka kamipun memutuskan menunggu. Sementara pace-pace tersebut, ternyata juga merasa
tidak enak hati jika menghampiri kami lebih dulu. Maka kami semua terjebak
dalam situasi saling tunggu, dirumah masing-masing.
Ketika kami akhirnya bisa menertawakan kesalah
pahaman ini dan berangkat ke Waisai kami sudah terlambat untuk ikut salat ied.
Kami disambut pemandangan orang-orang berbaju muslim, saling mengucapkan salam
dan tidak diragukan lagi, gembira ria. Namun yang lebih mengejutkan adalah
ketika kami menghubungi keluarga kami masing-masing, ternyata pemerintah telah
menetapkan jika hari raya Idul Fitri adalah besok pagi, meskipun tidak ada
larangan bagi siapapun yang merayakan hari ini. Ya, faktanya adalah keluarga di
kampung kami masing-masing bahkan masih menikmati hari terakhir puasa Ramadhan disaat
kami bahkan telah terlambat untuk mengikuti salat ied.
Hello, my name is Fawes
Sore itu kami
bertiga tidak sedang berada pada mood yang menyenangkan, aku lupa apa
masalahnya tapi akhirnya aku memutuskan untuk menyingkir dari mereka berdua dan
memberi makan ikan di area resort. Di sana, diujung dermaga kujumpai lelaki
yang bersandar sambil memandang lautan. Seorang lelaki yang tidak kukenal,
seorang turis asing ternyata.
Namanya Fawes,
atau paling tidak itulah yang aku tangkap karena nama aslinya sangat sulit
diucapkan untuk lidah lokalku, seorang turis dari Perancis. Kami bercerita tentang
banyak hal, tentang penelitian yang kulakukan dan tentang alasan dia memilih
resort ini. Bagiku agak aneh ketika dia memilih Sawinggrai sebagai tempat
menginap, atraksi wisata di sini memang berbeda dengan di kampung wisata lain,
tapi fasilitas komunikasi dan listrik sangat terbatas yang membuat jarang ada
tamu yang menginap dalam waktu lama. Wisata disini adalalah kunjungan singkat
mengamati burung cenderawasih di habitat aslinya, setelah itu wisatawan
biasanya kembali ke resort mereka di kampung lain. Resort-resort yang
dilengkapi telepon satelit, kamar mandi berpemanas, dan mini bar.
Tapi ternyata bagi
Fawes resort inilah yang tepat, tidak dengan kemewahan tapi keramahan
masyarakatnya. Resort ini memang tidak berjarak dengan rumah warga yang lain sehingga
memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk berinteraksi dengan masyarakat.
Berbeda dengan resort mewah di kawasan Meos Mansuar yang dikelola pendatang
maupun asing, Mambefor dimiliki dan dikelola oleh warga setempat. Dimana
keberadaan resort ini akan memberikan kontribusi langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Bukankah memang ini seharusnya pembangunan wisata di
Raja Ampat ditujukan, kesejahteraan masyarakat setempat?
Selain banyak
berbagi cerita Fawes juga menawarkan bantuan yang sangat berarti untuk
penelitian ini, dia menawarkan kameranya untuk digunakan mengambil data.
Beberapa foto bahkan sengaja dia ambil sendiri untuk meringankan pekerjaanku.
Sangat membantu mengingat kami hanya membawa handycam sebagai sarana dokumentasi, itupun pinjaman dari seorang
kenalan dari Waisai.
Banyak yang kami
lalui bersama setelah itu, diantaranya adalah ketika suatu sore dia dan Pak
Yasaya mengajak kami ikut dalam salah satu perjalanan ke Wayak Mini dan melihat
manta. Tentu saja dengan Fawes menanggung semua biaya perjalanannya, “Kalian
kan pelajar”, begitu selalu dia berkata. Perjalanan yang menyenangkan, meskipun
bagi salah satu dari kami ini juga merupakan perjalanan yang sangat melelahkan.
Begini ceritanya,
selama perjalanan Pak Yasaya meminta tolong salah seorang dari kami untuk
memijat punggungnya karena beliau merasa sedikit tidak enak badan. Pekerjaan
mulia itu akhirnya jatuh ditangan hafizt, jadilah dia sepanjang perjalanan
memijat punggung Pak Yasaya sementara kami berdua tersenyum-senyum simpul melihatnya.
Sesampai kembali di Sawinggrai kami mengucapkan terimakasih dan pamit untuk
menyiapkan makan malam, tak lupa mengundang Fawes untuk datang dan minum kopi
bersama.
Pada saat kami
menyiapkan makan malam tiba-tiba aku menyadari jika hanya ada aku dan Doni yang
berada di pondok, hafizt tiba-tiba menghilang entah kemana. Kami waktu itu
mengira dia hanya pergi mandi. Lama berselang dan dia bahkan belum kembali,
semua makanan sudah matang tapi karena kami selalu mulai makan bersama mau tak
mau kami menunggunya. Aku sudah mulai tidak sabar, Doni sudah mulai lapar. Ini
sudah terlalu lama bahkan jika dia harus pergi mandi di kampung sebelah.
Tiba-tiba,
muncullah laki-laki melayu itu dari balik pintu. Kusut. Dan membawa sebuah
piring berisi ikan bakar. Sebelum kami sempat bertanya, merepetlah mulutnya
bercerita jika ketika kami pamit pulang tadi Pak Yasaya memanggilnya kembali.
Meminta dia meneruskan tugasnya yang terpotong, sebagai tukang urut. Tak
main-main hampir dua jam Hafizt menunaikan tugasnya. Sambil dia bercerita aroma
minyak urut yang pekat menguar dari badannya, terbayanglah bentuk penderitaan
macam apa yang baru dia lalui. Saat itu sebagai teman, bentuk simpati yang bisa
kami berikan adalah menertawakan kejadian itu habis-habisan, karena untung bagi
kami mendapat tambahan lauk makan malam.
Kapal kami telah tiba
Aku tidak pernah
bisa melupakan hari dimana kami memutuskan untuk pulang. Kami tidak bersaudara,
kami bahkan tidak mengenal orang-orang ini sebelumnya, hanya tinggal tidak
lebih dari sepuluh hari, merepotkan dan banyak bertanya. Namun, tapi ketika
kami pulang beberapa bahkan menitikkan air mata. Mereka mau repot-repot
mengantarkan kami ke dermaga, membawakan barang-barang kami, anak-anak
menyanyikan lagu perpisahan, mama-mama memberi ku banyak pesan. Ada haru di
tiap pelukan dan jabat tangan yang mereka berikan. Dalam hati aku berharap
Sawinggrai tidak sejauh itu dari Jogja, sehingga aku bisa berkali-kali mengunjunginya.
Dan terimakasihku untuk semua yang aku dapatkan di sana tak terhingga. Mungkin
aku hanya merasa sangat terkesan.
Ada laut yang akan selalu kurindukan, ada cerita
yang tak akan pernah kulupakan, dan ada keluarga baru yang suatu saat nanti
akan kukujungi lagi.