Kamis, 14 Oktober 2010

Miss my window

Aku rindu rumah lamaku.
bangunan bertingkat dua yang hanya kuhuni 3 tahun saja dan sudah 3 tahun ini berganti kepemilikan. Rumahku dulu dua tingkat dengan lantai satu dipakai untuk toko dan lantai dua kamar tidur. Tapi bukan itu yang menarik, satu titik di ujung tanggalah yang kucari. Di sana ada sebuah jendela.

Jendela itulah yang kini sangat kurindukan.
Bentuknya biasa saja,dengan 2 buah daun jendela. Warnanya merah pudar mungkin karena dekat dengan udara bebas dan sinar matahari langsung membuatnya lebih cepat terlihat tua. Tak ada yang istimewa dengan tampilan fisiknya. Yang membuatnya istimewa adalah karena ketika kau memanjatnya dan duduk di bibir kusennya kau bisa menyelonjorkan kakimu di genteng, atap lantai satu. Tak hanya kaki jika kau sedikit berani, tak takut jatuh dan dimarahi bapakku tentu saja, seperti aku kau bahkan bisa berjemur di atas genteng. Posisinya begitu strategis hingga kau bisa menikmati pemandangan sawah yang menghampar, matahari terbenam hingga bintang gemintang.

Dulu, dikala panas terik dan bosan menghampiri aku biasa berjalan menuju jendela itu, duduk dan berkhayal. Tentang dunia diluar sana. Diluar kampungku yang kecil. Semilir angin menerbangkanku menuju hutan-hutan tropis atau pantai-pantai berpasir putih yang waktu itu hanya bisa aku lihat di kalender. Tak jarang aku membuat gelembung sabun dan meniupnya dari sana, membiarkannya terbang. Beberapa berkelana hingga tak terlihat mata  lebih banyak yang pecah bahkan ketika dia belum genap melewati batas gentengku. Seperti mimpi-mimpi kita. Sebagian cukup kuat untuk diperjuangkan tak sedikit bahkan tak berani kita ungkapkan.

Saat petang sambil menunggu azan magrib aku duduk-duduk saja disana menikmati matahari terbenam. Karena aku selalu duduk sendiri,ditemani kucingku sebenarnya tapi toh dia tak tertarik dengan matahari terbenam jadi mari kita abaikan saja, maka aku selalu dengan egois mengatakan Tuhan sengaja menciptakan senja itu untukku. Dia biarkan aku terpesona sepuas-puasnya dan mengambil sebanyak yang aku mau. Mungkin dia berfikir, nikmati sepuasmu tapi senja ini tak bisa menjadi milikmu, karena toh dia selalu berhasil mengambil senjaku kapanpun dia mau. Seperti hidup kita

Ketika malam datang,terlebih jika disertai bintang  (aku tak terlalu mengharap kedatangan bulan, terkadang dia pemalu dan bersembunyi saja dibalik awan,menyebalkan) keadaan menjadi berlipat dramatis. Aku selalu mencoba mengajak bintang-bintang itu berbicara. Menyenangkan karena mereka tak bisa bicara dan sebanyak apapun aku bercerita mereka hanya akan berkedip. Aku menyebut mereka penggemar yang baik dan tak banyak mau tahu, tipe teman curhat favoritku. Maka aku bebas mengatakan apapun tentang teman misalnya, teman yang menyebalkan, teman yang menyebalkan sekali, teman yang saking menyebalkannya hingga kau berharap tidak mengenalnya saja, teman yang baik, teman yang kau anggap saudara, teman mencontek, teman sebangku dan macam-macam teman yang lain. Terkadang jika masalah teman menjadi membosankan maka pernah juga aku mengeluh tentang masalah cinta. Cinta monyet yang malu-malu, cinta buaya yang berbahaya dan saling membuka mulut, cinta kadal yang gesit bergerak hingga cinta bungklon yang tak menentu dan macam-macam jenis cinta lainnya. Kebanyakan malam-malam dengan topik seperti itu berakhir dengan air mata.

Dan itulah mengapa sekarang aku merindukan jendelaku. Jendela semacam itu sukar didapat di tempat inggalku sekarang. Jendela yang mau menjadi pendengar, jendela yang menawarkan belaian angin yang mengeringkan air mata, jendela yang menghiburku dengan bermacam-macam senja, jendela yang melambungkanku dengan bermacam-macam mimpi.
Adakah yang punya jendela semacam itu??call me then

Tidak ada komentar:

Posting Komentar